Dyas Utomo, dari Bandung ke Berkeley
Kali ini, Rhein mau bercerita tentang seorang sahabat yang membanggakan dan bikin iri luar biasa.
Namanya Dyas Utomo. Kami saling kenal sejak Rhein masih di bangku SMA di Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Kalau ketemunya di club begini, jelas dong ya karena hobinya sama, semua hal yang berkaitan dengan astronomi. Saat itu, Rhein dan Dyas hobi banget diskusi tentang segala hal yang berhubungan dengan langit, bintang, semesta. Termasuk bersama HAAJ menyebarkan ilmu ini ke sekolah-sekolah yang biasa disebut 'Star Party'. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Astronomi ITB. Dyas lolos. Rhein? Oh, cukup puas di Fisika UI.
Namanya Dyas Utomo. Kami saling kenal sejak Rhein masih di bangku SMA di Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ). Kalau ketemunya di club begini, jelas dong ya karena hobinya sama, semua hal yang berkaitan dengan astronomi. Saat itu, Rhein dan Dyas hobi banget diskusi tentang segala hal yang berhubungan dengan langit, bintang, semesta. Termasuk bersama HAAJ menyebarkan ilmu ini ke sekolah-sekolah yang biasa disebut 'Star Party'. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Astronomi ITB. Dyas lolos. Rhein? Oh, cukup puas di Fisika UI.
Bosscha, Bandung, 2007 |
Seiring waktu, kecintaan kami terhadap astronomi makin menjadi-jadi, hanya berbeda jalur. Rhein memilih mengambil jalur Fisika Bintang, Astrophysics. Dyas lebih menyukai hal yang berhubungan dengan astronomi radio. Oh bukan, bukan jadi penyiar radio. Tapi yang perlu satelit pemancar dan penerima gelombang radio dari luar angkasa kayak di film 'Contact' based on Carl Sagan's novel itu, lho. Mending liat gambarnya, deh.
Contact movie |
Meski Rhein kuliah di UI, skripsi bisa tetap bisa dilakukan di Astronomi ITB. Saat itu, Dyas yang asli mahasiswa astronomi ITB menemani Rhein melakukan penelitian atau pengamatan bintang dengan teleskop Carl Zeiss Bosscha. Banyak hal yang sering kami obrolkan tiap begadang sambil neropong itu. Tentang kelanjutan kuliah, acara-acara astronomi, nasib astronomi di Indonesia, mimpi-mimpi ke luar negeri, bahasan artikel National Geographic tentang astronomi, sampai cita-cita kalau datang ke tiap negara harus mampir ke Observatoriumnya.
Dyas memutuskan untuk lanjut kuliah ke luar negeri. Rhein super sangat mendukung. Sobat saya satu ini jeniusnya luar biasa. Semester pertama di ITB aja IP-nya 4! Semester selanjutnya ya nggak beda-beda jauh lah. Maka, dilanjutlah bagaimana perjuangan dia mendapat beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. Rhein tahu seberapa keras dia berusaha. Kursus bahasa Inggris, cari info sana-sini, ikut seleksi Fullbright yang gagal di seleksi paling akhir, sampai akhirnya berhasil mendapat teaching assistantship dan kuliah di Amerika. Nggak nanggung-nanggung, Dyas diterima di jurusan Astronomi, University of California, Berkeley yang sudah sangat jelas nggak pernah mangkir dari TOP 10 Best University in the World. Aaaaaaakkkkk.... Rhein iri luar biasaaaaaaa...
Dyas memutuskan untuk lanjut kuliah ke luar negeri. Rhein super sangat mendukung. Sobat saya satu ini jeniusnya luar biasa. Semester pertama di ITB aja IP-nya 4! Semester selanjutnya ya nggak beda-beda jauh lah. Maka, dilanjutlah bagaimana perjuangan dia mendapat beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. Rhein tahu seberapa keras dia berusaha. Kursus bahasa Inggris, cari info sana-sini, ikut seleksi Fullbright yang gagal di seleksi paling akhir, sampai akhirnya berhasil mendapat teaching assistantship dan kuliah di Amerika. Nggak nanggung-nanggung, Dyas diterima di jurusan Astronomi, University of California, Berkeley yang sudah sangat jelas nggak pernah mangkir dari TOP 10 Best University in the World. Aaaaaaakkkkk.... Rhein iri luar biasaaaaaaa...
from www.thetimeshighereducation.co.uk |
Setelah 2 tahun lebih di sana, beberapa minggu lalu Dyas pulang ke Indonesia dan dengan baik hati dia menyempatkan ke Bandung. Jelas Rhein langsung ngebet ketemu, dong! Dengerin cerita Dyas tentang gimana kuliah astronomi di sana makin bikin ngiri aja. Tentang profesor-profesor baik hati yang sangat terbuka untuk diskusi apa pun, seminar-seminar dari para astronom dunia, atau kunjungan ke observatorim. Dyas juga sempat bilang ke Rhein,
"Yang kuliah seangkatan S3 sama gw cuma ada 5 orang. Ada yang dari Harvard, Caltech, MIT, Princeton, dan gw sendiri." (koreksi kl gw salah sebut ya, Dyas :p)
Mendengar itu, Rhein takjub lah... Dyas berada di lingkungan yang sangat kondusif untuk belajar astronomi dan dikelilingi orang-orang dengan latar belakang dan isi otak keren. Selain itu, Rhein juga bangga. Hey, Indonesia punya loh, mahasiswa sangat pintar yang lolos untuk kuliah dan belajar di sana. Astronomi pula. Bidang ilmu yang masih dipandang sebelah mata di negeri ini, padahal astronomi adalah ilmu dasar yang mengulik satu hal penting dalam filosofi diri manusia, rasa ingin tahu tentang dirinya dan semesta.
Mungkin, suatu hari nanti kita bisa punya next Stephen Hawking. ;)
Ah well, mungkin sesekali media di Indonesia sejenak melupakan hiruk pikuk pemberitaan tokoh-tokoh 'pemberi energi negatif' macam Arya Guna-Guna atau Kakek Subur atau Fatonah dan segala bentuk Sapi, ya. Negeri ini masih punya banyak harapan dari pemuda-pemudanya yang tak pernah lelah menuntut ilmu, bahkan sampai ke negeri orang.
Ciwalk, Bandung, 2013 |
Love is real, real is love. -John Lennon-
Comments
:)
keren deh mas dyas!
(http://nowayreturn.blogspot.com)