Cerita Umroh (1)

Saya tahu.. Saya tahu.. Ini sudah lewat 1 minggu dan tulisan #30DaysChallenge kosong melompong. Daripada mengkambinghitamkan lingkungan sekitar, lebih baik saya mengakui kalau konsistensi ternyata masih jadi masalah yang harus saya perbaiki. YOSH!

Untuk tulisan kali ini Rhein pengen bercerita sedikit tentang pengalaman umroh.

Bulan Maret lalu, alhamdulillah banget keluarga bisa dipanggil ke tanah suci. Perjalanan ini sebenarnya udah keinginan sejak tahun lalu. Kemudian dengan memperhitungkan dana, waktu libur kuliah, musim di tanah suci, dll, akhirnya diputuskan bulan Maret, saat musim semi dimana konon nggak terlalu panas dan ngga terlalu dingin. Rhein dan adik-adik yang jarang di Bogor pun menyerahkan semua persiapan keberangkatan ke orang tua dan travel agent Lentera Hati. Sekilas info, travel agent ini biayanya murah dan pelayanan oke punya, lho! Kenalan Ibu.

Sebelum berangkat, Bapak hanya menekankan berkali-kali, "Teh, ini perjalanan ibadah, ya. Bukan backpacking!" Hehehe... :D. Tahu aja nih Bapak. Selain itu, ortu dan guru ngaji keluarga juga mengingatkan kalau selama umroh harus sabar, dibawa seneng, jangan mengeluh, dan kalau ada hal yang mengganjal di hati lebih baik diam dan istighfar. Lalu, berangkatlah kami dari bandara Soetta. Ini perjalanan spesial buat Rhein karena pertama kalinya ke luar negeri. Lebih spesial lagi buat Bani karena pertama kalinya dia naik pesawat, ke tanah suci pula. Perjalanan menyenangkan dengan waktu 9 jam dan makanan di pesawat enak-enak :p.

Ceritanya, kami sampai di hotel di Madinah saat adzan subuh berkumandang. Langit masih gelap, cuaca cukup dingin, angin berhembus kencang, udara kering, dan pemandangan yang Rhein lihat adalah orang-orang berbondong-bondong datang ke masjid Nabawi untuk shalat berjamaah. Tua, muda, laki-laki, perempuan, bahkan tidak sedikit yang menggunakan kursi roda, semua datang ke masjid. Saat itu juga Rhein merasa ter-tampol luar biasa. Di Indonesia, shalat subuh di kosan aja masih pake ngantuk luar biasa.

Jujur, ekspektasi Rhein pergi umroh emang agak kurang ajar mungkin. Iya, Rhein tahu itu ibadah. Segala tahap-tahap perjalanan sudah dipelajari dan apa-apa yang perlu dilakukan sudah dipahami, tinggal diikuti. Mungkin hati ini sudah terlalu beku dan terlalu sering memikirkan duniawi. Hingga saat datang ke masjid Nabawi untuk shalat subuh, mendengar imam membacakan surat, merasakan kemegahan dan rasa terlindungi entah dari mana, Rhein nangis... T_T. Seriusan itu nggak tahu kenapa tiba-tiba nangis. Merasa kecil, merasa lemah, merasa disayangi banget sama Rasulullah saat berada di masjid itu. Apalagi setelah shalat Ibu cerita,
Nanti setelah hari kiamat, pintu surga sudah terbuka untuk Rasulullah Saw. Tapi Rasul tidak masuk. Rasul menunggu umatnya datang dengan selamat, menunggu kita sampai, menunggu Teteh sampai. Bisa Teteh bayangkan sesayang apa Rasulullah sama kita?
Makin curambay lah Rhein nangisnya. Kalau sudah ada sosok mulia yang sayang banget sama kita sampai seperti itu, rasanya malu aja kalau kita masih sering lalai, ya..  Men, Rasulullah udah banyak berkorban demi kita dan diminta saling menyayangi sesama aja, kita masih sering bertengkar...

Ah ya, pada tahap itu, satu yang Rhein pahami dan akan coba jalani... Belajar memiliki hati yang lembut.. 

Masjid Nabawi di siang hari yang tetap adem..

#30DaysChallenge Day 12

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Nelly Vergawati said…
Subhanallah.. Kak Rhein. suka seperti kak Rhein. Jadi teringat salah satu mimpi saya, ingin pergi kesana bersama Ibu saya. dan lebih tepatnya suami juga. :D Semoga "hari itu" punya sayap dan bisa datang dengan cepat.

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

Tips Belajar IELTS (yang ngga berhasil-berhasil amat)

Review Macbook Air 11 Inch