Perkara ber-Agama dan ber-Tuhan di Australia

"Are you a Buddhist?"
Saya menatap teman, yang sudah saya kenal di tempat kerja selama satu bulan itu, dengan pandangan bermakna, "Hah?"

Australia, sebuah benua dan negara dengan penduduk sangat-sangat-sangat beragam latar belakangnya. Di sini, pertanyaan setelah "What's your name?" adalah "Where are you from?". Dan jawabannya jarang banget "I'm Aussie." Pasti dari negara yang beda-beda. Indonesia memang penganut Bhineka Tunggal Ika (yang sekarang sedang terluka), namun tinggal setahun di benua Kanguru membuat saya berinteraksi dengan lebih banyak lagi perbedaan. Postingan kali ini akan mencoba membahas tiga perbedaan signifikan berdasarkan pengalaman saya dan bagaimana menyikapinya. Tadinya saya mau menulis menjadi satu postingan, tapi berhubung hobi curhat jadi saya pisah karena kepanjangan.

AGAMA

Nggak ada Tom Cruise pas ke sini

"Are you working everyday?" Pemuda itu bertanya sembari tangannya sibuk menyiapkan pesanan mie.
"No. I have day off on Sunday," jawab saya (yang juga sedang menyiapkan mie).
"Oh. You're going to Church on Sunday?"
Jemari saya menyentuh kepala, jangan-jangan saya lupa pakai jilbab. Pake kok!

Iya, Islam dan muslim nggak se-terkenal itu, sodara-sodara. Sebagai anak yang lahir di keluarga muslim dan tumbuh di negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam dan tiap hari bisa mendengar adzan lima kali, saya cukup kaget ternyata tidak sedikit yang tidak tahu bahwa jilbab merupakan salah satu simbol muslimah. Boro-boro dengar adzan, saya beberapa kali tinggal di kota yang nggak punya masjid. Teman-teman saya, kalau nggak non-muslim ya nggak percaya Tuhan. Tiap kali tinggal satu kamar dengan banyak orang, saya  harus selalu bilang, "Hi, I'm a moslem. I need to pray and need some space in our room. It only take about five minutes. I hope you guys don't mind."

Agama dan kepercayaan berada dalam ranah paling pribadi. Urusan 'lakum dinukum waliyadin' diterapkan sekali di sini. Tanpa diminta, semua orang waras sudah pasti akan respek terhadap orang beragama lain (yang nggak respek disebutnya nggak waras). Semua orang pun nggak pernah menuntut untuk dihormati perihal agama yang dianutnya. Saya tidak pernah ada masalah dalam beribadah selama di Australia. Urusan pekerjaan, kuliah, dan jalan-jalan, tidak pernah sekalipun agama dan jilbab menjadi penghalang. Tiap kali pindah kota, saya selalu dapat kerja kurang dari seminggu, lho. Malah ketika Ramadhan, kerap kali teman-teman bertanya khawatir, "Are you sure you're not eat & drink whole day? Are you okay? You'll not be ill? Don't forget to eat a lot at night, you need energy.". Atau ketika kami janjian untuk jalan-jalan dan saya request waktu supaya bisa sholat dulu, mereka dengan senang hati setuju. Tentu saya pun tidak masalah ketika ingin hangout kala weekend dan teman perlu ke gereja dulu. Saat merayakan hari raya pun begitu, kami dengan senang hati berkumpul makan-makan meski apa yang kami yakini berbeda. Percayalah, ketika kamu di negeri orang tanpa keluarga, ada yang mau ikutan kumpul makan-makan saat Lebaran atau Natal nemenin kamu, itu bener-bener bikin bahagia. Hangat, damai, dan kekeluargaan di semua hari raya agama berbeda yang pernah saya ikuti, rasanya sama.

Maka ketika baca berita di Indonesia urusan penistaan agama segitu heboh, saya cuma bisa garuk-garuk jilbab sambil mikir, "Ini seriusan? Kalian sebaper itu? Lebih baper mana sama saya yang tiap kali mau solat dan ngaku muslim langsung ditanya-tanya tentang ISIS?"

Suatu waktu saya ngobrol sama seorang sahabat yang memberi laporan kondisi terkini (saat itu) urusan isu agama di Indonesia. Kira-kira dia bilang gini, "Enak kan tinggal di Aussie. Meski lu minoritas lu nggak merasa terancam. Bule-bule itu mungkin hubungan mereka sama Tuhan nol besar. Tapi kalau urusan hubungan mereka dengan manusia dan lingkungan, kita yang tumbuh di negara mayoritas muslim ini, justru perlu belajar dari mereka.". Satu ajaran Islam prinsipil bagi saya adalah perkara habluminallah dan habluminannas yang keduanya sangat berkolerasi. Maka ketika kamu sehari sudah sholat lima puluh rakaat, tidak perlu lah ditambahkan dengan share berita hoax atau posting status menghujat. 

Saya punya teman Indonesia keturunan Cina non-muslim yang pernah curhat, "Jujur Rhein, dengan kondisi isu ras dan agama di Indonesia sekarang ini, gw takut untuk pulang. Mending di sini, damai." Hati saya miris sih, kenapa sikap sebagian muslim malah jadi bikin orang takut begini. Saya percaya kok semua agama mengajarkan perdamaian dan ketenangan spiritual bagi tiap pemeluknya. Hal itu yang banyak saya pelajari selama di Australia. Manusia diciptakan berbeda, dilahirkan berbeda, memiliki pemahaman berbeda. Namun kebaikan akan selalu memiliki satu irama.  

Bapak saya (yang juga backpacker dan tau anaknya bakal selalu ketemu banyak orang baru) pernah berpesan, "Teteh, Rasulullah Saw diutus dengan tugas utama menyempurnakan akhlak manusia. Maka berakhlak baiklah, berbuat baiklah pada siapa pun itu, karena itu dakwah utama beliau."

Pernah saya ngobrol dengan teman yang tidak percaya Tuhan. Menurutnya, sembahyang atau berdoa hanyalah cara manusia meluangkan waktu untuk dirinya sendiri agar ia bisa mengambil alih kontrol atas hidupnya lagi. Ketika sibuk, stress, manusia perlu menenangkan diri, fokus, berpikir jernih, dan menyusun lagi apa-apa yang ia ingin dalam hidupnya. Saya sih mendengarkan saja apa-apa yang menjadi isi kepalanya karena ingin paham juga kenapa dia begini dan begitu. Kami bertukar pikiran tentang apa-apa yang saya pahami tentang Islam dan dia bercerita tentang pencariannya akan Tuhan (yang menurut dia akhirnya nggak ketemu). Di akhir obrolan, dia sempat bertanya, 
"You're such a calm and peaceful person. Is it because you pray five times a day?" 
Saya tersenyum, "Maybe."

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Unknown said…
Hi mbak, sepertinya tinggal di Australia menyenangkan dan damai banget ya. Nice story! Aku sendiri tinggal di Eropa (Prancis tepatnya) tapi rasanya ga ada damai2nya soal perbedaan hehe. Salam kenal! :)
Unknown said…
lovely story. pulang ke indo kapan teh? teteh asli mana? sharing tentang pengalaman whv. tahun depan aku mau whv dan pengen tetep pake hijab pas whv.
Unknown said…
Ahhh jadi pengen kerja di Aussie kak. Perkara issue agama dan ras di Indonesia ini memang panas banget ya. Aku sampe unfriend teman kuliahku di facebook karena dia frontal banget kalau posting status di fb ttg ras dan agama. Gerahhh bacanya.

beautynthebliss.com
Wina Silfanna said…
pingin juga bisa diskusi gitu sama orang disana, semoga granted dah bulan juli nanti x)
hara hope said…
Waini....adem, sejuk, damai. Capek aku liat rumah sendiri. Indonesia has back to 70's di mana isu agama jor-joran dipakai untuk menggiring keberpihakan politik secara masif. Btw, Planet Mars udah buka kontrakan belum ya, Fath? 😑
"You're such a calm and peaceful person. Is it because you pray five times a day?"
Saya tersenyum, "Maybe."

Menurut saya ... inilah dakwah yang sebenarnya
Memberikan contoh, dengan tindakan nyata. sehingga orang percaya bahwa agama yang kita anut itu memberi kebaikan pada diri sendiri ... juga pada lingkungannya

Salam saya
Unknown said…
Haiii mba. Salam kenal, aku Dinda
Well, postingan mba nih menarik banget buat aku. Aku baru tau sebulanan ini mengenai WHV, well... dan kepengen ikut, langsung browsing ttg pengalaman orang lain yang pernah ikut WHV. Tapi jujur banyak pro-kontra dalam diri sendiri, terutama karena aku pake jilbab, but im not that alim actually :{
Dan... postingan mba yang menyinggung tentang "dark side" itu passs ngena di aku banget. Haha! Rasanya kayak lagi ngaca, gitu :p

Makasih udah sharing ya mbaa, inspiring :)))))
Semoga saya bisa traveling juga dalam waktu dekat. Aamiin!
Semangat mbakk!
Nice Post!:)
Ada masalah dengan tas dan koper yang terkena kotoran,dan anda belum sempat/tidak tahu cara membersihkan nya? Segera antarkan tas dan koper anda ke The Paris Shoes Bag,Laundry tas dan koper terbaik di Medan.
Laundry Tas Koper Medan

Popular posts from this blog

Kaleidoskop 2021

Backpacker Thailand Trip (part-5): Chatuchak Market, Belanja, & Kuliner