Seven Days (part of)
Ubud,
kota kecil, sejuk, nan indah yang kukenal justru melalui film produksi
Holywood, Eat, Pray, Love. Aku dan Shen sampai menjelang maghrib dan langsung
mencari penginapan. Setelah menyimpan barang dan bersih-bersih, kami keluar
mencari makan malam.
Ada
cerita unik yang kudapat dari pemilik penginapan saat check in tadi. Saat aku
melihat jejeran motor milik pengunjung terparkir di jalanan di depan
penginapan, aku bertanya kemana semua kendaraan itu nanti disimpan. Karena
kulihat tempat parkir yang tersedia sedikit sekali. Pemilik penginapan malah
tertawa menanggapi pertanyaanku. Katanya, motor-motor itu diparkir di jalan
saja. Tidak pernah terjadi pencurian selama ia hidup di Ubud ini. Semuanya
aman. Giliran aku terhenyak tak percaya.
"Romantis banget
tempatnya ya, Shen?"
Kepalaku menoleh ke
sana kemari dan menatap sekeliling café yang Shen pilih sebagai tempat makan
malam. Ruangan luas dengan penataan kursi dan meja kayu yang rapi, di beberapa sudut
malah berupa sofa empuk berwarna merah. Di setiap meja tampak vas yang diisi
bunga segar nan harum. Termasuk meja yang kami tempati. Shen memilih kursi di
pojok ruangan. Sedikit terasing dari pengunjung lain yang rata-rata turis
asing.
Lampu-lampu menyala
lembut, memancarkan cahaya kuning yang memberi efek romantis. Dari speaker di
langit-langit terdengar suara musik jazz mengalun lembut, bergantian antara
iringan piano, biola, atau saxophone. Suara penyanyi luar negeri melantunkan
lirik-lirik lagu yang menyentuh hati.
"Kamu suka?"
Shen duduk di hadapanku, menatap dengan sorot mata yang membuatku
bertanya-tanya apa artinya.
"Banget!"
jawabku senang. "Harusnya kamu ke sini sama pacar kamu, Shen."
Shen malah tertawa.
"Makanya aku bawa kamu dulu."
"Maksudnya?"
"Ibarat mobil,
kamu ini objek test-drive. Kalau kamu suka, berarti cewek yang nanti jadi
pacarku bakal suka juga kalau kuajak kesini."
Aku mencibir. Dasar
Shen, bahkan untuk merencanakan pergi makan malam sama pacarnya saja harus
pakai test-drive segala. Tapi, memang nanti pacar Shen bakal kayak apa ya?
Selama ini, gadis-gadis objek petualangan Shen yang dikenalkan padaku tipenya
cantik, putih, langsing, dan penuh senyum. Kira-kira kalau Shen punya pacar,
gadis itu mau jadi sahabatku juga nggak, ya? Jujur saja, dari dalam lubuk hati
aku sering khawatir kalau pacar atau bahkan istri Shen nanti tipikal pencemburu
dan nggak suka aku dekat-dekat dengan suaminya.
"Kamu mencintai
Reza, Nilam?"
Eh? Kepalaku mendongak,
menatap Shen bingung. "Iya, dong," jawabku singkat. Reza kan pacarku, apa alasannya untuk tidak cinta? Pikirku heran.
"Kenapa?"
tanya Shen lagi.
Mataku berputar-putar
memikirkan jawabannya. Kebersamaanku dengan Reza selama tiga tahun ini mengalir
begitu saja. Saling mendukung saat kondisi buruk menghadang, bersuka cita
bersama ketika sukses datang. Keberadaannya sudah seperti bagian dari hidupku
sehari-hari. "Karena aku nyaman sama Reza."
Shen manggut-manggut.
"Kalau suatu hari dia membuatmu nggak nyaman, kamu nggak cinta lagi?"
Pertanyaan Shen mulai
menjebak. "Dia juga cowok sabar, Shen. Jarang ada cowok sabar di dunia
ini."
"Kalau suatu hari
dia berubah jadi nggak sabaran, yakin kamu masih cinta? Pribadi orang bisa
berubah seiring waktu, kan?"
Sebenarnya, aku tidak
pernah terlalu ribet dalam urusan cinta-cintaan. Sama-sama suka, nyaman,
jadilah pacaran. Kalaupun sampai menikah, ya berarti jodoh. Simpel saja, kan.
Beda dengan Shen yang harus mempertanyakan banyak hal bahkan untuk mencari
sosok pacar. Bagiku, cinta itu dinikmati, dirasakan, meski harus dari sosok
yang datang dan pergi.
"Nilam?"
Panggilan Shen membuyarkan
lamunanku. "Ya. Kalau sudah menikah nanti, mau nggak mau aku bakal
menerima Reza apa adanya, Shen. Aku juga bukan sosok sempurna buat Reza. Nah,
dari rasa saling legowo akan ketidaksempurnaan masing-masing, cinta itu akan
tumbuh."
"Lalu, kenapa
sampai sekarang kamu masih belum menjawab lamaran Reza?"
Pertanyaan Shen
benar-benar langsung menohok hati. Mengapa? Karena aku masih belum siap untuk
dimiliki seorang pria dan melepaskan Shen tentunya. Ah, andai dia bisa mengerti
tentang itu. "Aku belum siap menikah, Shen," elakku.
Shen tertawa.
"Belum siap atau ragu?"
Aku menatapnya bingung.
Ragu? Apakah mungkin setelah tiga tahun bersama, hatiku masih merasa ragu?
"Kita bahas yang lain aja, ya?"
Lagi-lagi Shen tertawa.
"Nilam, menurutku ada dua jenis cinta dalam memilih pasangan hidup."
Kurasakan tatapan Shen
mulai serius memandangku. Sorot mata yang biasa ia lakukan untuk meyakinkan
segala rencana atau teori-teori dalam otaknya. Dan aku seperti tersihir, larut
dalam letupan dunia kecil yang Shen ciptakan.
"Ada cinta yang
tumbuh karena witing trisno jalaran soko kulino," tutur Shen lirih.
"Mungkin itu yang kamu rasakan dengan Reza. Lalu, ada juga cinta yang memang muncul tanpa
ada alasan. Cinta itu hadir, ditujukan pada seseorang, karena hati memang
memilihnya."
Ada senyap yang hadir
di antara kami, seolah kata-kata yang terucap dari Shen serupa mantera yang
menyerap suasana. Kami hanya bertatapan dalam diam. Diam yang malah memberiku
efek mendebarkan.
"Kamu sendiri
pilih cinta yang mana, Shen?" Aku terkejut pertanyaan itu terlontar begitu
saja dari mulutku tanpa bisa kutahan.
Senyum lembut Shen
tersungging, matanya masih menatapku lekat. "Aku punya jenis cinta yang
kedua."
Pada siapa? Hatiku sontak
bertanya-tanya. Pada siapa hati Shen memilihkan cinta untuknya? Rasa penasaran
dan cemburu itu terbersit di hatiku begitu saja.
"Silakan
pesanannya."
Seketika kami
tersadarkan oleh pelayan yang datang membawa menu pesanan. Aku tersenyum dan
berterima kasih pada pemuda berseragam yang membawa sepiring nasi goreng untuk
Shen, semangkuk salad untukku, dan dua gelas cokelat panas. Dinginnya ubud dan
cokelat panas adalah pasangan yang tepat untuk melengkapi suasana romantis di
kafe ini.
Telingaku menangkap
alunan musik intro yang sangat kukenal. Suara khas Frank Sinatra terdengar
menyanyikan bait lagu yang kuhapal di luar kepala.
"Shen, lagu
kita!" ujarku spontan dan senang.
Shen tersenyum
mengangguk. "Iya."
"Fly me to the
moon, let me play among the stars..." Aku ikut berdendang.
"Let me see what
springs is like on Jupiter and Mars..." Shen melanjutkan.
Kami tertawa. Makan
malam kali ini terasa begitu menyenangkan. Kafe yang tenang, menu lezat, dan
musik kesukaan. Lengkap sudah.
In
other word, please be true
In
other word, I love you
Love is real, real is love. -John Lennon-
Comments