Ekuivalensi Kopi
Tawa Halya meledak.
Gilang menatap gadisnya bingung. Suasana di Coffee Shop favorit mereka cukup ramai. Banyak orang melewatkan waktu makan siang. Untungnya, sofa di pojok yang biasa mereka tempati masih kosong saat keduanya datang setengah jam lalu. "Kenapa?"
"Menurutmu aku bisa masak?"
"Nggak tahu."
"Tergantung masak apa. Masak air, mie instan, telur mata sapi. Aku bisa." Halya tertawa lagi. "Standar anak kos."
"Resep lain?"
Halya menggeleng pelan dan tersenyum. "Kamu sendiri? Bisa masak?"
"Sekedar beberapa resep sayur dan lauk pauk."
"Oh ya? Wow..." Halya takjub. "Kapan-kapan boleh aku dimasakin?"
"Kok kebalik sih? Aku ajari kamu masak, deh. Kapan-kapan di kosanku. Gimana?"
Bola mata Halya berputar-putar. "Boleh. Tapi yang gampang-gampang dulu ya?"
Gilang mengangguk. "Gudeg? Makanan khas daerah asalku loh."
"Jangan dulu lah."
"Iya deh. Nanti aku ajari masak sup tahu miso. That’s my favorite."
"Selain masak, kamu suka apa lagi?"
"Kamu."
"Gombal!" Halya tertawa.
"Dan kopi. Kadang aku buat sendiri di rumah."
"Wow... Bahkan kekasihku seorang barista?" Halya menatap Gilang lekat. Empat bulan pacaran, dan Gilang selalu penuh dengan kejutan. Selalu banyak hal baru yang ia tidak ketahui.
"Amatir. Liat-liat resep di internet aja."
"Kenapa suka kopi?"
"Karena menurutku, kopi merupakan ekuivalensi dari cinta."
Halya makin tertarik. "Explain please, my Dear?"
Gilang merubah posisi duduknya. Lebih mendekat pada Halya, ia merasa nyaman. "Cinta itu seperti secangkir kopi." Ia mulai bertutur. "Banyak jenis dan ragamnya. Jika kopi punya banyak variasi, seperti Cappucino dengan tambahan krim, susu dan cokelat. Atau kopi Latte dan Macchiato yang punya takaran susu berbeda. Lalu jenis Melya yang manis dengan penambahan cokelat bubuk dan madu. Bahkan dengan tambahan sesendok gula sekalipun, jenis dan rasa kopi akan berbeda. Begitu juga cinta. Ada orang yang mencintai karena parasnya, senyumnya, keluarganya, hartanya, bahkan karena kebiasaan unik si kekasih. Gaya si kekasih menjalin tali sepatu, misalnya. Konyol kan?" Gilang tertawa. "Dan tidak bisa dipungkiri, banyak orang mencintai kekasih mereka karena ada alasan tertentu, sekecil apapun itu. Seperti kopi yang dicampur bahan lain. Tidak ada yang salah, bahkan bisa jadi lebih nikmat. Tergantung selera masing-masing, bukan?"
Senyum Halya tersungging, menikmati kuliah singkat pria itu tentang kopi.
"Lalu, beberapa orang juga menyukai kopi hitam. Tanpa campuran apapun, kopi saja. Sama seperti 'cinta saja' tanpa alasan. Bagi beberapa orang, rasanya tidak enak. Pahit. Namun pecinta kopi hitam tidak bilang begitu. Ada sensasi tersendiri dari wangi murni kopi, juga rasa pahitnya. Sama seperti 'cinta saja', ada sensasi debar jantung tanpa alasan. Yang seringkali membuat orang jadi tidak logis, buta, gila. Pahit. Orang yang memiliki rasa 'cinta saja' akan mengecap rasa pahit."
"Apa itu berarti orang yang mencintai dengan tulus tanpa alasan akan selalu merasakan kepahitan?"
"Oh tidak begitu maksudnya. Cinta orang tua pada anaknya, termasuk salah satu contoh secangkir kopi hitam. Cinta saja, tulus. Meski mereka harus kerja keras demi kebahagiaan si anak. Bangun tengah malam hanya karena bayi pipis, atau seorang ayah yang harus lembur berhari-hari demi sekotak susu. Tapi mereka tulus dan enjoy, kan? Karena rasa pahit itu tetap bisa dinikmati."
Halya bertepuk tangan pelan, terpukau. "Pemahaman anda mendalam sekali, tuan filusuf."
Gilang mendekat pada Halya, berbisik lirih pada gadisnya. "Dan jangan lupa, kopi dan cinta adalah candu."
Love is real, real is love. -John Lennon-
Comments
wah bagus banget nih gosipnya Rhein...
tapi tukang gosip ampe sekarang masih nggak doyan sama kupi item kalu nggak pake gula
kalu kupi mik or gudey nggak pake gula juga doyan
*apelagi kalu nyang bikinin Rhein*