Yang Berbeda: Orientasi Seksual dan Ras

Suatu kali di kelab malam, lantai dansa selalu menjadi tujuan utama saya untuk bergoyang. Lampu gemerlap, musik berdentam, dan di antara kerumunan saya melihat seorang perempuan rupawan dengan rambut indah panjang. Ia mengerling, mata kami bertemu. Tanpa ragu, gadis itu menarik saya untuk menari berpasangan. Beberapa pria melihat kami begitu asyik dan tertarik untuk mendekat, perempuan itu dengan setengah malas menghalau tak berminat. Seiring musik menghentak, kami berdansa makin semangat. Kami tertawa, saling sentuh menggoda, sesekali gadis cantik itu memeluk saya, tangannya serta merta meraba pinggul dan paha. Dengan alasan berpose selfie, pipi dan bibir saya pun diciumnya. Sampai ketika jemarinya berkelana ke bagian intim, saya merengkuh kedua pipinya dan berkata, "I'll go buy drinks. Okay?" 

Melanjutkan postingan sebelumnya, Australia tidak hanya menyuguhkan cerita tentang perbedaan agama. Kali ini saya akan bercerita tentang perbedaan lain yang jarang ditemui selama saya tumbuh di Indonesia. 

ORIENTASI SEKSUAL
Saya lupa dapat cerita ini dari mana, entah buku, internet, tour guide, atau rekaman dokumentasi saat main ke museum. Dulu sekali di Australia pernah ada olahraga berburu gay. Pria-pria dari kalangan tertentu pergi berkuda untuk memburu gay untuk dibunuh. Namun itu dulu. Meski belum memiliki undang-undang legal pernikahan sesama jenis, saat ini Australia termasuk negara yang relatif lebih terbuka akan keberadaan masyarakat homosexual. Saya punya beberapa teman gay, pernah satu rumah dengan pasangan lesbian, dekat dengan seorang bisexual, punya teman di tempat kerja yang LGBT juga. Awalnya saya tentu kaget ketika seorang teman berkata, "They're sweet couple." pada sepasang perempuan yang saya kira sahabat baik. Namun lama kelamaan saya paham, dekat belum tentu sahabat. Bisa jadi pasangan. 

Orientasi seksual biasanya dikaitkan dengan urusan moral dan agama. Namun di Australia ini lucu. Tiap tahun ada Mardi Gras, sebuah perayaan yang mempertunjukkan rangkaian parade besar-besaran dari kaum gay dan lesbian serta para pendukungnya. Ini acaranya rame dan seru banget (sampe-sampe kalau saya nonton sendirian pasti ilang ditelan kerumunan). Namun tidak dapat dipungkiri, banyak juga yang menolak keberadaan masyarakat LGBT ini. Untungnya, konsep keluarga di negara ini berbeda dengan Indonesia. Mereka tidak perlu menikah untuk hidup bersama. Cukup menjadi partner (baik pasangan berbeda atau sesama jenis) dan mereka bisa membangun keluarga bahkan mengadopsi anak. Saya juga sempat melihat beberapa anak yang tumbuh dengan orang tua sesama jenis. Karena perkara dosa diurus oleh masing-masing individu, kalau yang saya amati sih kehidupan bermasyarakat kaum LGBT dengan yang lain ya baik-baik saja. 

Bagi saya pribadi, tidak masalah untuk berteman dengan siapa pun selama mereka tidak memaksakan pengaruhnya pada saya. Orientasi seksual adalah pilihan tiap individu. Namun yang saya kecam adalah pemaksaan seksual pada anak-anak (baik berbeda atau sesama jenis). Dan dengan apa yang saya alami di cerita paragraf awal postingan ini, ternyata saya masih suka laki-laki. Hehehe.. 
Mardi Gras

RAS
Harapan tahun baru dari bahasa masing-masing pegawai restoran
Hidup di Australia sebagai traveller membuat saya bertemu dengan banyak manusia dari berbagai negara dan ras. Saat menjadi waitress saja, restoran tempat saya bekerja memiliki karyawan dari Indonesia, Jepang, Korea, Brazil, Chile, India, Portugis, Finlandia, dan Jerman. Warna kulit kami berbeda, warna rambut tidak ada yang sama, warna bola mata pun berlainan. 

Sulitkah menjalin pertemanan dengan orang-orang dari negara atau ras yang berbeda? Ada sebagian orang memilih untuk berteman dari ras yang sama. Tidak dapat dipungkiri, persamaan akan mempermudah segala sesuatu. Saya pribadi sejak awal datang ke Australia memilih untuk berteman dengan siapa saja dan ternyata memiliki banyak keuntungan. Pertama, memperlancar bahasa Inggris karena yang namanya berteman pasti ngobrol dan nggak mungkin menggunakan bahasa ibu masing-masing. Ini berpengaruh banget karena saya juga beberapa kali ketemu orang yang sudah bertahun-tahun tinggal di Australia tapi nggak bisa ngomong bahasa Inggris karena gaulnya ya sama orang-orang dari negara mereka aja. 

Kedua, memahami kebiasaan. Bagi saya bangun tidur adalah jam 5 pagi. Bagi teman-teman kaukasian (mostly), mereka baru tidur jam 5 pagi. Maka saya bersedia untuk mengambil shift pagi di restoran. Saya kebiasaan ngaret, teman Jepang saya kalau janjian tepat waktu minta ampun (untung dia sabar punya teman kayak saya).  Saya dan teman Asia lain kadang menanggapi sesuatu dengan senyum atau tawa, teman dari Eropa atau Amerika akan menanggapi, "That's not funny at all. Why did you laugh?" Dan beragam kebiasaan lain yang ujung-ujungnya membuat kami paham bahwa tiap perbedaan bisa dikomunikasikan.

Ketiga, merasa cantik. Bahahaha... Mungkin ini hanya terjadi pada perempuan ya. Teman Jerman saya kesal dengan kulit pucatnya dan hobi banget berjemur di pantai. Lha saya, nggak pake berjemur aja kulit udah gelap. Saya iri dengan rambut halus lurus milik teman Jepang, sementara mereka iri dengan mata bulat dan bulu mata lentik milik saya (ngga perlu extension, sis). Lain waktu saya merasa gendut, teman Brazil bilang "Don't worry, curvy is sexy." Pokoknya, tiap kami cewek-cewek obrol-obrol urusan kecantikan, kami saling menyadarkan kelebihan masing-masing. Abaikan segala petuah iklan kecantikan, tiap perempuan diciptakan berbeda dan menjadi cantik sesuai dengan dirinya. 

Keempat, mengikis anggapan negatif. Kita sering mendengar judgement orang Asia tuh begini, bule tuh begitu, kulit hitam begono. Berinteraksi langsung secara individu akan membuat kita pribadi berusaha meluruhkan judgement-judgment negatif yang sudah diketahui secara Internasional. Atau kita juga bisa menjelaskan latar belakang mengapa bisa terjadi kesalahpahaman negatif tentang negara kita. Saat traveling, kita menjadi duta bagi negara masing-masing dan ada keinginan untuk memberikan citra positif bagi traveler lain.

Kelima, investasi jalan-jalan masa depan. "Nanti kalau aku main ke negara kamu, aku bakal kontak kamu dan kita ketemu ya. Kamu juga jangan segan untuk kontak aku kalau datang ke negaraku." << sesederhana itu.


Kita tidak pernah bisa meminta untuk dilahirkan dari ras mana. Maka kebaikan hati menjadi bahasa universal yang akan selalu diterima meski kamu berbeda.
Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Atiqoh Hasan said…
Tetep keren ya, qaq! :')
Anonymous said…
Saya dan teman Asia lain kadang menanggapi sesuatu dengan senyum atau tawa, teman dari Eropa atau Amerika akan menanggapi, "That's not funny at all. Why did you laugh?" --->> nah ini iya banget, dulu pas masih sekolah sempet kursus bahasa inggris yg ngajarnya native speaker, suatu hari gw telat, dan seperti biasa klo telat gw minta maaf sambil senyum (karna emg gt yg diajarin di sekolah), ehh si Mr.Bule malah emosi & ngomel di kelas, ktny dia heran org indo tuh udah suka ngaret ga ngehargain waktu orang, ehh pas ngaret malah senyum2 seakan2 ngaret sesuatu yg lucu, bukannya merasa bersalah..
pdhl ga gt maksudnya ya huhu
wasesasegara said…
halo kak rhein.. gimana pengalaman tinggal di australia?
Rhein Fathia said…
@Wasesasegara
HEH!
TRAVENGLER said…
ternyata bewarna banget ya pengalaman tinggal di Aussie
Anonymous said…
Duh menarik jadi makin pengen WHV. Aaand I love your writing..

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

Tips Belajar IELTS (yang ngga berhasil-berhasil amat)

Review Macbook Air 11 Inch