Money & Manners

One thing money can't buy: Manners.

Pekerjaan sebagai waitress di Australia memberi saya kesempatan untuk bertemu banyak manusia dengan beragam latar belakang. Teman sesama pegawai, pemilik restoran, dan pengunjung menjadi objek menarik untuk diobservasi. Saya bekerja di empat restoran berbeda (kita sebut saja: Mawar, Melati, Anggrek, dan Cempaka) dengan karakteristik pegawai, pemilik, dan pengunjung yang berbeda. 

Restoran Mawar
Terletak di dalam gedung perkantoran, restoran mungil ini hanya memiliki 2 pegawai; saya dan seorang barista. Fungsi utama restoran ini memfasilitasi semua pegawai yang bekerja di kantor tersebut. Tidak hanya melayani pengunjung yang datang untuk mengisi perut, tiap hari restoran juga memfasilitasi pesanan katering untuk beragam macam rapat, pertemuan, bahkan training pegawai baru. Karena barista tidak bisa meninggalkan mesin kopi, sudah menjadi tugas saya wara-wiri melakukan pekerjaan lain mulai dari cuci piring sampai naik turun lift melayani pesanan. 

Saya pertama kali bekerja sebagai waitress di sini dan belajar banyak hal. Karena sering cilingcingcat kesana kemari dan satu-satunya manusia berhijab di gedung tersebut, otomatis mudah dikenali. Mereka biasa memanggil saya 'lovely girl' atau 'little lady' (sepertinya karena saya pendek). Semua pengunjung baik, sopan, dan ringan tangan. Mereka akan bergegas membantu membuka pintu atau menahan pintu lift jika tangan saya kerepotan membawa nampan penuh makanan/minuman. Ketika selesai makan/minum, kebanyakan dari mereka akan membersihkan meja, menata piring dan gelas kotor, bahkan mengantarkannya ke saya. Mereka juga maklum jika pendengaran saya akan aksen bahasa Inggris yang berbeda-beda masih dalam tahap penyesuaian.

Saat bekerja di sini, saya tertarik dengan seorang pria. Beliau mengingatkan saya pada almarhum kakek. Perawakan tinggi ramping, rambut putih, garis wajah tegas, dan sorot mata tajam. Awal-awal di restoran, saya menebak beliau orang penting dan sempat agak takut karena aura intimidatif. Ternyata orangnya baiiiiikkkk banget. Beliau yang pertama memanggi saya 'little lady'. Tiap mengantarkan pesanan ke ruang rapat, kadang beliau menyempatkan diri bertanya kabar atau bercanda dengan saya. Kalau beliau datang ke restoran, si barista selalu bilang, "Hey Thia, your favorite gentleman is coming." Sebelum resign, akhirnya saya tahu beliau CEO perusahaan di gedung tersebut.

Restoran Melati
Terletak di pusat kota dan dekat wilayah pariwisata, bekerja di restoran ini sibuknya bukan kepalang. Namun saya paling bahagia dan banyak belajar dari restoran ini. Untuk teman pegawai, mereka teamwork terbaik yang pernah saya miliki. Semua waitress ramah dan gesit, semua tim dapur pekerja keras dan cekatan (selain masakannya enak). Saya merasa bekerja di sini memiliki irama, saling back up tanpa perlu diminta. Saat waitress sibuk, tim dapur mau menjadi waiter dadakan. Saat di dapur sibuk, waitress akan ikut berkutat di sana.

Pemilik restoran adalah suami istri yang sudah dianggap orang tua oleh semua pegawai. Mereka mengajari semua hal yang ada di restoran secara bertahap dan sistematis. Minggu pertama saya hanya diperbolehkan bersih-bersih dan mengantar pesanan, sembari menghapal menu. Minggu kedua saya mulai ikut waitress senior untuk take order ke pengunjung, lalu didampingi saat saya take order. Saya sempat beberapa kali salah dan perlu bolak balik ke dapur untuk memperbaharui pesanan. Tidak pernah dimarahi. "It's okay. You still learning." Selalu begitu jawaban pemilik restoran sembari tersenyum. Saya perhatikan, mereka mudah sekali dekat dengan pengunjung restoran. Bahkan sering terlibat percakapan lama ke pelanggan. Mereka tidak pernah lupa mengapresiasi pegawai dengan kalimat sederhana, "Good job! Perfect! You did it very well." Ketika menyuruh pegawai melakukan pekerjaan, mereka tidak pernah lupa menggunakan kata, "Please." Pun ketika restoran sangat sibuk dan pemilik restoran hendak menyuruh sesuatu, tapi ternyata semua pegawai sibuk, mereka tidak jadi menyuruh dan terjun langsung melakukan pekerjaan. 

Pernah suatu kali ada pengunjung meminta saya menghangatkan black forest yang ia pesan. Usai mengeluarkan cake tersebut dari microwave, ternyata meleleh dan bentuknya hancur. Saya panik dan melapor ke Mom (pemilik resto perempuan). Bukannya dimarahi karena salah mengatur timer, Mom malah tertawa dan bilang, "Give the new cake to customer and let's eat this cake together. It still delicious." Masih banyak cerita-cerita tentang mereka yang mengajarkan saya untuk jadi pribadi dan pemilik bisnis yang menyenangkan.

Restoran Anggrek
Saya paling nggak suka kerja di restoran ini (kalimat pertama udah gini). Terletak di dalam pusat perbelanjaan yang dikelilingi gedung perkantoran, jam makan siang menjadi waktu paling melelahkan. Bagi saya sibuk tidak masalah, namun lingkungan kerja sangat tidak kondusif. Teman pegawai entah kenapa mayoritas tidak ramah. Minggu pertama kerja, saat jam sibuk, dan saya sedang kesana kemari, sudah ada yang membentak saya ini itu. Tidak terima diperlakukan seperti itu, saya melapor ke pemilik restoran dong. Keesokan harinya mereka nggak bentak-bentak, tapi berganti dengan bullying tak nampak. Saya beberapa kali ditabrak sampai membentur tembok (bilangnya lagi buru-buru, nggak sengaja, tanpa kata maaf), bahkan saya sampai pernah memecahkan setumpuk mangkok yang sedang dibawa. Kalau saya bertanya sesuatu tentang pekerjaan (karena masih baru), malah dijawab, "Masa kayak gitu aja nggak tahu?!"

Pemilik restoran ya begitulah. Baru 3 hari kerja, saya dites hapalan menu. Usai memeriksa jawaban, dia menyerahkan kertas tes sambil bilang, "Tidak ada satu pun jawaban kamu yang benar." Busyeng, emang gw sebego itu apa. Saat saya cek ulang, iya ada yang salah, itu pun beberapa dan hanya kurang satu ingredient seperti bawang goreng atau saus udang. Saya baru 3 hari kerja dan saya bukan chefnyaaaaaa. Lain waktu ada seorang backpacker menghampiri saya dan bilang mau bertemu manager atau pemilik restoran untuk melamar pekerjaan. Kemudian saya pertemukan dengan pemilik restoran. Eh, nggak lama kemudian saya dipanggil. Pemilik restoran bilang gini, "Next time if someone wants to see me, you need to think first he deserves to meet me or not. Kamu kira tadi itu siapa? Anak Raja? Dia cuma backpacker yang cari kerja. Nggak penting bagi saya ketemu dia. Kamu harus belajar memilih siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah derajatnya." Jeng! Jeng! Saya hanya termangu. 

Lain hari lain cerita. Pemilik restoran menuntut saya untuk bekerja cepat. "Time is money. Every second counts. Kalau kamu menganggap 1 detik seharga 50 sen, mungkin tidak masalah. Tapi coba kamu bayangkan 1 detik seharga 100 dollar. Kamu kerja telat 5 detik, kamu akan kehilangan banyak uang." Sebagai pegawai saya manggut-manggut saja. Sampai suatu hari, karena terbiasa menggunakan kata "Please" tiap minta sesuatu (order ke dapur, misalnya), saya dibentak, "Nggak usah pake 'please'. Kelamaan!" Di sini saya sedih. Saya mau kerja cepat, saya butuh uang, tapi saya nggak mau menukarnya dengan mengubah kebiasaan baik yang sudah saya pelajari. 

Restoran Cempaka
Restoran ala-ala gala dinner dengan pemandangan Opera House dan Harbour Bridge. Saya bekerja di sini hanya saat jam makan malam. Karena termasuk restoran baru, saya diminta menjadi tim marketing (selain menjadi waitress). Tugas utama saya menarik pengunjung di lantai dasar agar mengunjungi restoran yang terletak di lantai tiga. Pemilik restoran sering mendampingi saya untuk menyebarkan brosur. Beliau sudah lama bergulat di dunia marketing dan saya belajar banyak hal darinya. Cara dia menyapa orang asing, menawarkan produk restoran, menjelaskan menu, menganalisis tipikal manusia secara cepat dan menebak apakah termasuk calon konsumen potensial atau tidak, de-es-be. Dari dia juga saya belajar bagaimana mengelola emosi dalam bisnis. Tidak peduli apa pun masalah yang sedang membebanimu (saya sedang berada dalam kondisi psikis sangat buruk kala itu), saat kita menjual sesuatu, berikan performance yang terbaik untuk konsumen.
hiburan sepulang kerja
Begitulah, serba-serbi menjadi waitress dan kesempatan mengobservasi banyak manusia menjadi pengalaman sangat berharga. 
Money talks, but manners impress more. 

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Swastikha said…
Rhien, aku suka baca tulisanmu. Ternyata tipikal di luar sana beragam ya. Beruntung kamu memiliki banyak pengalaman.

Ditunggu novel terbarunya
Haryadi Yansyah said…
Suka banget bacanya :) kebayang tiap aktivitas yang dituliskan. Itu, restoran no.2 resign karena habis masa kontrak atau gimama?

Omnduut.com
Acipa said…
Kak Rhein, aku emang kepikiran sih kalau suatu saat sekolah di luar negeri dan kerja part time pengennya di restoran (atau jenis tempat makan lainnya, coffee shop oke juga tuh) aja karena kayaknya seru, tapi pas baca cerita yang di Resto Anggrek bikin pengen ketawa tapi dumel juga hehe xD

Seru juga bacanya...
Unknown said…
Di resto pertama :Saya pertama kali bekerja sebagai waitress di sini dan belajar banyak hal. Karena sering cilingcingcat kesana kemari dan satu-satunya manusia berhijab di gedung tersebut, otomatis mudah dikenali. Mereka biasa memanggil saya 'lovely girl' atau 'little lady' (sepertinya karena saya pendek)." Cutieeee.
Hiihihi reminds me of meon my previous company mbaa

Dan di resto ketiga, Anggrek. Iiih reminds me of my current company deh huhu

Lovee to read your blog! ~~~~
Semangat nulis terus Mbakk, eh salah, Teteeeh \^,^9

Popular posts from this blog

Kaleidoskop 2021

Backpacker Thailand Trip (part-5): Chatuchak Market, Belanja, & Kuliner