The Chronicle in Fremantle


Pada suatu hari, salah seorang sahabat saya mengirimkan gambar di atas. Sebagai anak sok petualang, saya pun berkeyakinan bahwa suatu hari harus mencoba. Bukan hanya sekadar wisata, tapi benar-benar harus mencoba hidup di suatu tempat yang tidak satu pun tahu siapa saya dan tidak seorang pun yang saya kenal sebelumnya. 

Usai lima bulan tinggal di Sydney dan mulai bosan (serta hampa plus lelah kebanyakan klabing #plak), saya pun berpikir saatnya menjelajahi tempat baru. Ide di gambar itu pun kembali muncul. Pilihan destinasi tertuju ke kota Fremantle yang gaulnya disebut Freo. Sebuah kota kecil dengan jarak 30 menit menggunakan kereta dari Perth City, Western Australia. Tidak banyak informasi yang saya dapat tentang kota ini sebelumnya karena saya malas googling. Dalam pikiran saya hanya, “Okay, I’ll go!”

Berbeda dengan saat pertama kali ke Australia, saya benar-benar penuh rencana. Ada teman bareng naik pesawat, sampai Sydney akan ada yang jemput, saya punya tempat tinggal sementara, udah daftar short-course, saya ikut komunitas orang Indonesia di Sydney, saya punya banyak teman dan sering kontak-kontakan, dan 90% saya pasti dapat kerja part-time dari kenalan. 

Saat mendarat di Freo, saya sendirian, boro-boro ada yang jemput di bandara, kenalan aja saya nggak punya. Tempat tinggal hanya booking hostel 3 hari itu pun sekamar dengan 8 orang, nggak tahu nanti tinggal di mana selanjutnya, saya nggak ikut komunitas orang Indonesia, dan saya nggak tahu bakal kerja apaan atau gimana dapat kerja. 

Waktu bilang ke sahabat bahwa saya sedang melakukan apa yang ada di gambar yang pernah dia kirim, saya malah dimarahi habis-habisan. Minta ditampol kamu, A’.

Lalu petualangan pun dimulai. Modal saya hanya doa orang tua, karena saya nggak yakin doa diri sendiri cepat dikabulkan Tuhan. Dari saya kenalan sama supir Uber, lalu berteman dengan backpacker asal Boston di hostel yang akhirnya kami berteman baik sampai sekarang, kemudian beberapa kali cari share house inspeksi ga dapet-dapet, uang saya menipis, ngider keliling kota ke kafe-kafe dan restoran-restoran sebar CV untuk cari kerja. Dari situ saya mikir, wooowww... hidup dari NOL ternyata begini rasanya. Rarieut urang. 

Hampir tiap malam saya merengek ke Ibu Bapa untuk didoakan supaya segala urusan dimudahkan. Alhamdulillah punya orang tua soleh. Selang seminggu di Freo, saya nemu share-house yang harga sewa sesuai budget, dekat kemana-mana (pusat kota dan pantai), akses angkutan umum gampang, dapat kamar sendiri yang nyaman, tapiiiiiii... saya tinggal dengan 3 pria bule dan saya perempuan sendiri. Waktu pindahan dari hostel ke share-house, saya baru sadar kalau kamar saya nggak ada kuncinya (karena penghuni-penghuni sebelumnya cowok), akhirnya saya request untuk dipasang kunci dan dikabulkan. Hal lain, bahkan sampai cerita ini ditulis, kamar mandi di rumah nggak ada kuncinya yang pintunya kadang gerak-gerak kalau angin lagi kenceng. Bahahahaha... Kebodohan saya sih nggak teliti waktu inspeksi. Untungnya semua penghuni rumah baik-baik jadi saya aman sentosa. 

Saya juga dapat pekerjaan sebagai waitress di sebuah restoran terkenal di Freo. Terkenal artinya sibuk dan tiap pulang kerja saya selalu berdesis, “Oh, my leg...” Dan, kehidupan di Freo pun mulai seru-seru lucu. Teman-teman yang saya punya ya hanya di restoran, 5 waitress (asal Jepang, Brazil, Jerman) dan 5 cowok kitchenhand yang 3 diantaranya para Oppa baik hati yang kalau mereka lagi ngobrol di depan saya, berasa lagi ada di drama Korea dan mereka memperebutkan saya gitu (lalu dilempar panci). 

Pemilik restoran adalah sepasang suami-istri yang super baik hati. Mereka sudah seperti orang tua bagi para karyawannya. Karena selain jadi bos yang mengajarkan banyak hal, mereka selalu dengan senang hati mendengar segala curhatan suka-duka kami para backpacker pekerja part-time ini. Cerita lain adalah tentang pelanggan-pelanggan restoran yang baik hati, lucu, aneh, cunihin, yang sudah kami hapal menu-menu favoritnya. Bahkan kami tidak perlu lagi menulis pesanan mereka, cukup menulis (misalnya) “Mark is coming.”, maka barista dan chef sudah tahu harus membuat apa. 

Dan cerita paling kocak adalah ketika seorang pelanggan melamar saya. Bule ini usianya udah tua, mungkin 40an tahun, suatu hari dia bilang ke saya (di depan bos) kalau dia pengen menikah dengan saya bahkan sampai bertanya saya mau pakai gaun apa. Saya pikir hanya bercanda, jadi saya hanya tanggapi dengan tawa sambil tetap kerja. Dua hari kemudian, sesampainya saya di restoran dan siap mau kerja, tiba-tiba dia datang dengan pakaian rapi, menghampiri saya, berlutut, mengambil kotak di saku dan menyodorkan ke saya sambil bilang, “Marry Me!”, DI DALAM RESTORAN DI DEPAN SEMUA ORANG!!

Melihat cincin dengan batu berkilat membuat saya syok. Is he serious??!! Saya celingukan, orang-orang malah ngeliatin, saya melihat ke teman waitress minta pertolongan, eh dia malah menahan ketawa. Singkat cerita saya menolak (ya menurut looo??!!). Sejak saat itu saya belajar menolak tiap ada pelanggan restoran yang mengajak kencan. Iya, nggak cuma sekali dan saya belajar bahwa di budaya barat (meski Australia letaknya di selatan), ajakan kencan adalah hal biasa (kalau ngelamar sih tetep gila). 

Cerita lain juga saya dan teman-teman piknik ke pantai, wisata kuliner, merayakan natal, lihat kembang api saat tahun baru, mengunjungi museum-museum, nyebrang pulau, makan malam bersama, gosip-gosip lucu di restoran, main sama anjing (ini penting dan ajaib! Phobia saya sama anjing terobati!!). Ada juga saat saya klabing lalu diincer lesbian, atau saat Kitty (kucing peliharaan) mempersembahkan tikus untuk saya saat bangun pagi (horor abis). Dan kisah romansa semusim yang cukup saya dan dia yang tahu (plis jangan ada yang komen “Ditunggu kisahnya di novel selanjutnya”, saya jitak nanti). 


Rencana saya tinggal di Freo hanya dua bulan dan malah molor jadi empat bulan. Perpisahan, satu hal yang saya harus terbiasa dalam setiap perjalanan tapi tetap rasanya menyedihkan. Saat saya bilang ke pelanggan restoran saat hari terakhir kerja, mereka dengan hangat bertanya rencana saya selanjutnya dan mendoakan untuk kesuksesan saya. Paling sedih tentunya saat memeluk satu per satu teman-teman waitress karena dengan mereka saya berbagi cerita sehari-hari. Atau saat Ibu bos berpesan, “You’re a good girl. You take care, okay?”, lalu saat Pak bos bilang, “You can come back here anytime you want.”

Dan pelukan terlama datang dari seorang Oppa. He said, “I will miss you. Take care of yourself.” And I replied, “Thank you for being so nice to me, Oppa.”

Yak! Dan drama Korea singkat ini terjadi di dapur restoran dengan ditonton pak bos dan semua waitress. Niat saya nangis ala ending drama Goblin pun harus diurungkan. 

Kembali ke gambar pertama. Mencoba menjadi sosok asing tak dikenal dan tak mengenal siapa pun di tempat baru ternyata tidak terlalu buruk. Suka duka pasti ada. Tangis tawa menjadi warna. Prinsip saya sederhana, be a good person and you will meet nice person too. Traveling isn’t always fun. Sometimes it’s uneasy, uncomfy, or break my heart. But it still gave me beautiful memories and left mark in every step of my journey. Also I hope, I left something good behind. 


Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Rd said…
Keren sekali dirimu euy

Ditunggu novel romansa semusimnya ya *disentil 😄
Unknown said…
Kak Rhein, ailopyu! Marry me! *ditakol

beautynthebliss.com

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

The Only One Lady's Birthday

Giveaway & Talkshow with Nulisbuku Club