Hari Ibu dan Mahmud Part-Time

Karena cerita tentang Ibu saya udah banyak (terakhir nulis ini), sekarang saya mau curhat tentang pengalaman saat bekerja menjadi au pair, atau saya lebih suka menyebutnya Mahmud Part-Time.

Bulan Juli lalu, ada pasangan German-Indonesia menghubungi dan meminta saya untuk membantu mengurus bayi mereka (kita sebut namanya Bayik) yang baru berusia 7 minggu. Saya super jarang ketemu bayi, menggendong bayi, apalagi pengalaman mengurus bayi, even keponakan pun cuma ketemu pas lebaran. Jadi saat pertama kali ketemu Bayik, dengan mata bulat yang menatap saya sendu, yang terlintas dalam pikiran saya, “Oh nooo.. Bayi, what should I do? What should I do?”

Saya excited sekaligus takut. Duh, ini bayi kecil banget kalau kenapa-kenapa gimana?? Ibunya Bayik (kita sebut saja Mommy) langsung mengajarkan cara menggendong dan bagaimana merebahkan Bayik ke box. Hari itu juga saya diajari cara ganti popok, bikin susu formula sesuai takaran, ganti baju, dll. Problem pertama: Bayik kalau apa-apa nangis. *yaeyalah*. Dia ngantuk, laper, ngompol, pup, semuanya nangis. Problem kedua: Bayik baru berhenti nangis kalau digendong dan kalau ngantuk baru bisa tidur kalau digendong sambil dinyanyiin. Saya pun jadi penyanyi dadakan.

Our first met
Teman-teman perempuan seusia saya, kebanyakan sudah punya bayi, satu, dua, bahkan tiga. Sebagai perempuan single independent, jujur saya nggak paham dan nggak terlalu peduli apa asyiknya punya bayi. Saya tahu bayi lucu, saya juga suka anak kecil, but I’m not sure am I will be okay if I have ‘buntut’? *ini kalimat kacau abis*. Dan, pengalaman menjadi mahmud part-time ini menjadi satu hal paling berkesan dalam kehidupan saya. 

Pekerjaan saya tiap hari hampir sama. Saya datang ke rumah Bayik, mengambil alih dia dari Mommy, memberi ASI atau susu formula dari botol tiap 2-3 jam sekali, ngajak main, jalan-jalan ke taman, menidurkan, ganti popok, dan selfie-selfie (mamah muda masa kini banget). Untungnya, saya dan Bayik cepat akrab dalam arti dia nggak nangis kalau Mommy memberikannya ke saya. 

Bahwasanya benar memiliki anak akan mengubah seorang perempuan. Meski bukan anak sendiri, setidaknya saya mencicip nol koma nol nol ... satu persen rasanya menjadi ibu. Saya paham mengapa emak-emak suka banget motret anaknya. Saya mengerti perasaan seorang ibu yang susah payah menidurkan bayi rewel, lalu saat bayi baru saja tidur eh ada pengganggu atau suara berisik sedikit yang membuat bayi bangun lagi dan nangis (WHY OH WHY??!! *garuk tembok*). Saya merasakan bagaimana panik dan bingung hanya karena Bayik cegukan nggak berhenti. Saya sedih bangeeeeetttt ketika Bayik pilek dan dia nggak nyaman serta nangis terus (plis Gusti, mending saya yang sakit). Saya bosen, capek nyanyi, tangan pegel karena gendong terus, dan Bayik ngga tidur-tidur (kalau disimpan nangis lagi). Saya serba salah mau ke kamar mandi sebentar atau bikin susu, eh Bayik nangis karena ditinggal. Saya pusing, ngantuk, tapi Bayik maunya digendong sambil jalan-jalan (itu ngantuk sama pusing karena malemnya party, sih. Namanya juga mahmud part-time). Saya juga mulai memperhatikan warna pup Bayik dan berdiskusi dengan Mahmud Full-Time (my besties, Angie) apa maknanya (Makna di Balik Feses yang Terpendam #judulNovel). Daaaaannnn masih banyak cerita-cerita lain yang membuat saya ngeh, “Ooohh... ternyata gini rasanya...”

Bayik tidur. Mahmud part-time ketiduran
Di balik semua kerempongan menjadi Mahmud Part-time, tiap kali melihat Bayik tersenyum atau tertawa, rasanya semua lelah terbang entah kemana lenyap tak bersisa (emak-emak abis lu, Rhein!). Saya jatuh cinta pada manusia kecil itu. Saya rela memberikan semua yang saya miliki untuknya. Sampai-sampai saya berkali-kali bilang sama sahabat saya kalau pengen punya bayi sendiri. Hahahaha...

Dari Bayik, saya belajar mencintai tanpa pamrih, tanpa berharap dia mengerti atau membalas rasa sayang yang saya curahkan sepenuh hati. Bayik membuat saya mengerti mengapa seorang perempuan rela menanggalkan semua atribut yang ia miliki demi sosok mungil yang sebenarnya merepotkan, bikin pusing, dan plis lah dia tuh maunya cuma dimengerti!

Kalau kamu yang jaga Bayik, Mommy kemana, Rhein? Kerja? Nggak kerja, ada di rumah juga meski kadang-kadang pergi. Oiya, Mommy ini orangnya super baik banget!

Saya baru tahu kalau di Australia cuti melahirkan itu 6 bulan. Mommy ini wanita karier. Setelah melahirkan, beliau cuti dan full di rumah. Awalnya saya mikir, “Lah ini emaknya di rumah ngapain juga butuh gw buat jagain bayinya?” #ditamparpaguyubanemakemak

Perlahan saya mengobservasi bahwa menjadi ibu apalagi ibu baru sangatlah tidak mudah. Saya tahu Mommy kurang tidur karena tiap 2-3 jam sekali Bayik harus menyusui, which is tengah malem juga bangun berkali-kali. Plis lah, saya bangun solat subuh aja masih setengah nyawa. Saya paham bahwa Mommy yang wanita karier, terbiasa dandan rapi, memiliki aktivitas bertemu banyak orang, sekarang beliau harus diam di rumah, hanya berdua dengan Bayik (yang nggak bisa diajak ngobrol), memakai baju seadanya bahkan mau mandi aja susah, bau susu atau ompol, boro-boro dandan milih warna shading untuk mancungin hidung. Saya paham tiap kali melihat Mommy menatap laptop dengan file-file pekerjaan (meski nggak diapa-apain), beliau tampak rindu dengan aktivitas yang menstimulus potensi dalam karirnya. Saya mencoba memahami bagaimana perubahan fisik ibu memberi rasa nyeri tersendiri. Payudara membesar, harus pompa ASI, kalau Bayik nggak mau nyusu terasa penuh dan sakit. Apalagi kalau melahirkan cesar, itu gimana rasa jahitan, yes? Mommy juga masih harus memikirkan rumah, belanja, masak, apa-apa kebutuhan suami dan Bayik. Saya sangat sangat mengerti kalau Mommy butuh ‘me time’ dan lepas sejenak dari Bayik. Bukan karena tidak cinta, namun karena setiap orang butuh mengisi kebutuhan jiwanya dulu sebelum ia sanggup berbagi jiwa dengan sosok lain, termasuk darah dagingnya sendiri.

Saya aja loh, kalau lagi capek ngurus Bayik terus liat fesbuk dan liat temen-temen lain sukses sama karier atau kuliah di luar negeri, langsung baper kok saya nggak ada apa-apanya cuma diem di rumah ngurus Bayik doang. (Ini saya menghayati banget jadi mahmud ya). Padahal itu bukan bayi saya, padahal pulang dari rumah Bayik saya masih lanjut kuliah bahkan bisa cabut party sampai pagi. Heh! 

Namun Tuhan Maha Humoris. Ia tahu di usia saya yang segini (25 tahun plus), sebagai perempuan saya ini nggak ada apa-apanya. Saya hanya tahu belajar, main, jalan-jalan. Melalui Bayik dan Mommy saya belajar bahwa cinta perempuan sangatlah istimewa. Melalui mereka, saya bersyukur punya Ibu yang luar biasa. Nggak jarang kalau ada apa-apa dengan Bayik, lalu Mommy sedang tidak ada, saya pasti telepon Ibu di Indonesia. Beliau sih ketagihan dikirimin foto dan video Bayik, berasa punya cucu katanya. Hahahaha... 

Saya jadi berfikir, Ibu punya tiga anak (saya dan adik-adik) yang banyak maunya dan susah diatur. Beliau mengurus kami sampai seperti sekarang, Gusti, itu seberapa besar sabar dan cintanya. Maka wajar kalau Rasulullah menyebut ibu sebanyak tiga kali sebagai orang yang patut kita prioritaskan. Maka hal lumrah ketika Tuhan memberi keistimewaan doa ibu lebih mudah dikabulkan. Saya ingin sekali menjadi sosok itu :)

Untuk semua perempuan yang memiliki dan mencurahkan rasa sayang serta cinta mereka pada apa pun itu, Selamat Hari Ibu. 

mau minum susu aja musti ganti posisi berkali-kali
Love,
#RheinHotMom2018 

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Desy Yusnita said…
Aku pikir kamu udah beneran berbuntut rhein....btw kamu apa kabar?? Semoga segera berbuntut yaa hehehe
Swastikha said…
Pengalaman yang luar biasa ya rhien
Juminten said…
Lu tau ga sih, rhein? Waktu akhirnya gw punya bayi, gw seperti tertampar-tampar. Keinget aja, betapa banyak dosa gw ama nyokap gw sendiri selama ini. :'(((

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

The Only One Lady's Birthday

Giveaway & Talkshow with Nulisbuku Club