Kompetisi
Seberapa
sering kamu ikut lomba? Seberapa besar ambisimu untuk menang?
Sejak
dulu, entah mengapa setiap kali Rhein ikutan macam test psikologi, potensi,
kemampuan diri, atau kepribadian, nilai yang paling rendah pasti dalam hal
kompetisi. Katanya Rhein rendah dalam hal kemampuan untuk bersaing dengan orang
lain, tidak punya ambisi. Sempat bingung juga sih, karena orang-orang terdekat
selalu bilang bahwa Rhein termasuk pribadi yang ambisius. Terus apa test-test
itu salah? Tapi kok hasilnya selalu sama?
Setelah
Rhein pikir-pikir, mungkin tolak ukur pertanyaan-pertanyaan dari test itu
membandingkan kompetisi atau persaingan antar pribadi dengan orang lain. Lalu
bagaimana dengan Rhein yang selalu berpikir bahwa kompetitor terbaik adalah
diri sendiri? Maksudnya?
Kita
buat lebih simpel. Kompetisi identik dengan lomba. Sejak dulu, Rhein
sangat jarang ikut lomba (kecuali zaman SD lomba 17an di RT). Termasuk dalam
lingkup hobi menulis, Rhein ngga pernah ikut lomba cerpen, lomba blog, lomba
puisi, seumur-umur cuma sekali doang ikut lomba nulis novel karena ngincer
hadiah jalan-jalan. Loh, itu akhirnya Rhein mau berkompetisi?
Ada
beberapa faktor untuk penjelasan ini. Pertama, Rhein tipikal orang yang penuh
perhitungan & persiapan. Ketika akan melakukan sesuatu, termasuk dalam hal
kompetisi, segala hal akan diperhitungkan & dipersiapkan sebaik mungkin.
Lomba hampir mirip dengan gambling, judi, kita nggak tahu banyak tentang
pesaing, penilaian (subjektif) juri, dan standar-standar yang mereka lakukan.
Dan ibarat penjudi, Rhein tipical penghitung seperti seorang statistikawan yang
memperhitungkan banyak hal. Ketika kompetisi yang akan Rhein hadapi tidak
banyak memberikan informasi atau data sehingga Rhein tidak bisa membuat
strategi jitu untuk memenangkan ajang perjudian tersebut, Rhein memilih untuk
tidak mengikuti kompetisi tersebut.
Untuk
(satu-satunya) lomba nulis novel yang Rhein ikuti, itu pakai perhitungan
banget. Rhein pantengin terus grup penyelenggara lomba yang ramai oleh obrolan
peserta (Rhein sih ngga komen apa-apa), mengamati siapa lawan-lawan yang akan
dihadapi, berapa peserta yang ikut, seberapa besar peluang untuk memenangkan
kompetisi tersebut. Waktu itu hasil perhitungannya Rhein yakin pasti lolos 10
besar naskah terbaik. Kenyataannya? Dapet juara 1, sih. Muehehehehe… sombong!
:))
Hal
yang sama juga Rhein perhitungkan waktu mau tes SPMB dulu. Pasti lolos SPMB
masuk PTN tapi ngga tahu ITB apa UI. Dan perhitungannya bener lagi. Juga waktu
ngirim novel pertama kali yang langsung lolos penerbit, itu juga penuh
perhitungan. Termasuk dengan novel-novel berikutnya. Pernah novelnya ditolak
terbit, Rhein? Jangan sampai atuhlah yaaa.. :D
Penjelasan
kedua adalah tentang siapa yang dilihat sebagai kompetitor? Rhein selalu
berpikir bahwa musuh terbesar adalah diri sendiri. Jadi kompetitor terbaik bagi
Rhein adalah diri sendiri. Tentu Rhein punya target-target, rencana, mimpi, dan
keinginan dalam hidup. Semua Rhein buat dan rencanakan bagaimana agar
perjalanan step-by-step meraih mimpi itu selalu menggali dan meningkatkan
potensi sesuai standar yang dibuat untuk Rhein pribadi. Seberapa tinggi standar
itu? Oh, ngga perlu muluk-muluk, selama jadi manusia yang lebih baik dari hari
kemarin tentunya.
Jadi,
ketika bisa melewati standar yang dibuat, bagi Rhein itu sudah prestasi, sudah
menyenangkan. I don’t care about other people standard. Untungnya (dan kalau
melihat perhitungan yang Rhein lakukan) biasanya standar yang Rhein buat selalu
lebih tinggi dari orang kebanyakan.
Begitulah,
menurut Rhein pernyataan hasil test potensi diri tentang kompetisi yang rendah
itu bukan berarti ngga mau bersaing dengan orang lain, namun pada siapa diri
kita melihat kompetitor yang dituju. Menurut Rhein juga kalau mengikuti sebuah
kompetisi tanpa perhitungan itu bukan kompetisi namanya tapi ‘uji hoki’.
Pernah
gagal dan salah dalam melakukan perhitungan, Rhein? Sering! Dalam hal
percintaan.
Sekian.
Comments
beda jauh ama saya hehehe