Monkey Forest & Tanah Lot #Bali

Day 2

Selamat Pagi, Ubud...
Meski Rhein tidak merasa seperti Julia Roberts, tapi menikmati pagi hari di Ubud memang indah. Suasananya lebih tenang dibanding di Kuta, dengan udara sejuk dan jalanan lebih lapang. Apalagi Ubud baru saja diguyur hujan semalam. Udara segar dan jalanan basah menjadi daya tarik tersendiri untuk bangun pagi dengan penuh senang hati. 

Setelah cukup dengan cuci muka dan gosok gigi tanpa mandi, kami berempat mulai menyusuri jalanan di sekitar penginapan. Tujuan kami pagi ini adalah Monkey Forest, sebuah hutan kecil berisi banyak monyet dan pura besar di pusatnya. Kami memutuskan untuk jalan kaki ke sana, sembari menikmati suasana pagi yang mulai ramai oleh anak sekolah dan beberapa penduduk yang beribadah pagi di setiap rumah. Di Bali, tiap rumah memiliki pura yang konon menurut informasi, besar kecilnya pura menentukan tinggi rendahnya kasta. Mereka beribadah 3 kali sehari, pagi, siang, dan sore. Menyimpan jalinan daun pandan berisi bunga dan membakar dupa, disimpan di pura dan depan rumah. Bahkan ada yang merangkai kuntum-kuntum bunga di tempat air di depan rumah mereka. Indah, tenang, menyenangkan!

Hal lain yang Rhein suka juga, penduduk Ubud ini ramah-ramah banget! Awalnya kami berjalan santai dan bersikap biasa saja pada penduduk sekitar. Ternyata, mereka menyapa duluan, lho! Dengan wajah penuh senyum, semua orang yang kami temui tidak segan menyapa "Halo, selamat pagi!". Waaaahhh.. EMEZING! Di sinilah bukti penduduk Indonesia memang ramah dan sopan. Karena semua orang ramah, kami pun akhirnya tidak segan untuk tersenyum dan menyapa duluan. Berhubung masih pagi pula, belum banyak toko dan restoran yang buka. Di sini tidak ada toko yang buka 24 jam. Setelah berjalan cukup lama dan nggak kuat menahan lapar, akhirnya kami mampir di salah satu restoran yang menyajikan harga cukup aman di dompet. Seperti yang kami khawatirkan mengenai restoran-restoran di Bali, Rama memesan paket sarapan dan ternyata ada sosis babi... *Oh my...*. Untung saja pelayan restoran tidak tersinggung ketika Rama meminta untuk menyisihkannya. Rhein sendiri memilih menu aman, roti bakar dan secangkir cokelat hangat.

Selesai sarapan, kami menuju Monkey Forest yang sudah dekat. Di sini, banyak sekali kera. Ya iyalah, namanya juga MONKEY Forest. Meski kera-kera di sini lucu dan tidak jahat, tetap saja Rhein dan Anne sedikit ngeri saat mereka mengejar. Sebenarnya mereka baru akan mengejar ketika kita membawa bungkusan plastik yang mereka sangka makanan. Makanya, ada aturan dilarang membawa plastik ke dalam Monkey Forest ini. Saat tiba di wilayah Pura Dalem Agung, kami bertemu bapak-bapak petugas yang sedang memberi makan para kera ini. Menurut cerita beliau, Monkey Forest ini terbagi menjadi 3 wilayah besar yang masing-masing dipimpin oleh Raja Kera. Nah, kera di wilayah dekat Pura ini yang paling elit. Mereka hanya mau makan isi timun. Benar sodara-sodara, potongan ketimun yang diberikan petugas itu mereka potong lagi dan hanya dimakan isinya. Sisanya, dibuang. Duh, kalah kasta deh gw sama kera, gw makan timun aja ludes... Hahahaha...

Untuk wilayah kera lain, mereka diberi makanan ubi dan pisang. Bapak ini juga bercerita bahwa seumur-umur dia bertugas bahkan mengikuti kehidupan kera di hutan ini, tidak pernah ada seorang pun yang melihat proses kelahiran bayi kera. Bahkan ia sudah mencoba mengikuti si kera hamil kemana-mana. Tau-tau udah muncul aja tuh anaknya. Selain itu, kera-kera itu juga dilarang masuk ke wilayah yang bukan daerahnya. Kalau ada kera dari wilayah gerbang masuk ke wilayah sekitar Pura, bisa terjadi perang antar kera tersebut. Dari cerita ini, gw jadi inget bagaimana anak-anak SMA di Jakarta kalau tawuran, nggak beda jauh sama para kera ini.

Saat kami datang ke Pura Dalem Agung, sedang ada persiapan upacara 6 bulan kalender Bali. Sayang sekali kami tidak diizinkan untuk masuk melihat persiapan tersebut dan acaranya akan berlangsung hari Minggu, padahal itu jadwal kami pulang ke Jakarta. Huhuhu... Di Monkey Forest ini juga ada wilayah lembah, kata Rama yang pernah datang kemari, biasanya di lembah tersebut paling banyak berkumpulnya kera. Mungkin karena hari itu banyak pengunjung, malah sedikit kera di sana. Selain pura, di lembah ini juga ada kolam yang banyak koin di dasarnya. Sepertinya banyak pengunjung yang melempar koin dan berdoa untuk keberuntungan. Hutan-hutan di lembah lebih lebat dengan akar gantung menjuntai kemana-mana. Banyak juga ukiran dan pahatan patung dari batu, bahkan pahatan batu berbentuk komodo sebesar aslinya. Suasana di sini campuran antara tenang dan penuh mistik.

Sebelum beranjak dari Monkey Forest, Rama dan Rhein penasaran pengen ngasih makan tuh kera-kera. Atas bantuan petugas, akhirnya kami dikasih biji jagung dan kera-kera pun datang untuk mengambil makanan. Seru, lho! Tangan mereka ternyata lembut. Padahal awalnya Rhein kira cakar mereka tajam dan bikin sakit. Ternyata senjata mereka ada di taring yang panjang dan tajam.

Selesai bermain dengan para kera, kami kembali ke penginapan dan segera berkemas ke destinasi selanjutnya: Tanah Lot! Perjalanan kali ini cukup melelahkan, ternyata dari Ubud ke Tanah Lot itu jauuuuhhh sekali dan macet bukan kepalang. Sepertinya semua wisatawan yang datang punya tujuan sama seperti kami, melihat sunset di Tanah Lot. Benar saja, sampai di sana, sudah banyak orang bahkan banyak bis rombongan wisata. Beruntung kami masih sempat melihat sunset meski sedikit. 

Sebenarnya Tanah Lot ini merupakan kawasan dari kumpulan beberapa Pura. Yang unik dan masih Rhein pikirkan sampai sekarang, mengapa umat Hindu di Bali suka sekali membangun Pura suci di tempat-tempat yang menurut Rhein agak sulit dijangkau. Di atas karang (seperti di Tanah Lot ini), di tengah hutan, di pegunungan, di tengah danau. Karena untuk mencapai Pura di tengah karang ini, harus menyebrangi laut apalagi saat pasang naik.

Lelah dengan perjalanan dari Tanah Lot ini, kami kembali ke penginapan di wilayah Poppies Lane. setelah bersih-bersih sejenak, lanjut menikmati malam hari di sepanjang jalan Legian. Rasanya, WOW! Kota ini seperti hidup selama 24 jam. Hingar bingar suara musik berdentam, lampu-lampu diskotik, DJ yang asyik memainkan musik, dan begitu banyak orang yang tumpah untuk sekedar jalan-jalan. Padahal waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, lho. Jakarta? Lewaaaaatttt.... Yang Rhein takjub, semua orang-orang di sini tidak ada yang saling memancing keributan apalagi sampai bertengkar. Tidak ada premanisme di sini se-riuh apa pun suasana yang terjadi. Menurut om Preman Kalem, masyarakat Bali memang memiliki toleransi yang sangat tinggi, damai, nggak pernah cari-cari masalah. Satu hal yang Rhein salut dan acungi jempol. For this reason I can say Bali is Paradise... :)

Setelah puas nongkrong-nongkrong di depan Hard Rock Cafe, kami menikmati pantai Kuta di malam hari. Menggelar kain, tidur-tiduran menatap langit yang sedikit berawan meski masih menyajikan rasi Scorpio dan Crux. Berbagi cerita, berbagi mimpi dan rencana. Sampai waktu menunjukkan pukul dua, kami kembali ke penginapan dan main poker! Hahahaha... Tidur? Ah, di Jakarta juga bisa tidur :p

Tim Bali: Anne, Aha, Rhein, Rama

Sedikit aktivitas di penginapan dan narsisme
Bersambung...

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

langkah fie said…
mantap jalan-jalannya rhein ^^

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

The Only One Lady's Birthday

Giveaway & Talkshow with Nulisbuku Club