Kenapa pada Nikah Cepet, sih?
Suatu hari, saya bertanya pada seorang sahabat dekat yang juga mantan teman sebangku saat kelas 2 SMA dan punya status pengantin baru. Ya, teman sebangku saya saat SMP dan SMA memang banyak yang sudah menikah.
Saya : Hey, gimana nih rasanya jadi pengantin baru? *kedip-kedip centil dan menggoda*
Teman : Rasanya nggak enak, Pet... *ia menunduk berwajah sendu. Dan sekilas info, nama panggilan saya adalah Thipet*
Saya : Hah? Nggak enak kenapa? *saya langsung khawatir dan bersiap jadi pelacur (pelayan curhat). At least, dia sahabat saya. Dan saya selalu ingin membantu meringankan masalahnya*
Teman : Iya, nggak enak. Tapi..... uuueeeennaaakkk tenaaaannnn.... *tergelak dengan puasnya*
Kampreeeetttt....
Atau lain waktu ketika saya chatting YM dengan tetangga yang usianya hanya terpaut setahun di atas saya dan dia sudah menikah.
Saya : Emang gimana rasanya nikah muda?
Mbak : Nyesel
Saya : Nyesel karena ga bisa main-main lagi layaknya anak muda?
Mbak : Nyesel kenapa ga dari dulu... *kalem*
Gedubraaaaakkk....
Saya bukan anti pernikahan. Saya juga ingin melanjutkan hidup layaknya keteraturan yang sudah tercipta, lulus kuliah-kerja-nabung-menikah-punya anak-menikmati masa tua-mati masuk surga. Saya juga tidak memiliki latar belakang buruk yang membuat saya trauma dalam berkeluarga, tidak. Keluarga saya sering disebut Keluarga Cemara saking harmonisnya *Alhamdulillah...*. Saya juga tidak punya masalah dalam menjalin hubungan dengan lelaki. Saya normal. Dan salah satu alasan saya putus dengan salah seorang mantan *ada berapa emangnya, Rhein?* adalah karena dia mengultimatum bahwa kami harus menikah segera setelah saya lulus kuliah! Oh GOD, that's NIGHTMARE!! Akhirnya, Alhamdulillah kami putus. He will get married next week *dengan wanita lain pastinya*. Congratz, and I'm really happy for you, Mas.. thumb up! :)
Saya hanya belum siap. Well, memang sih menikah itu sama seperti ketika wanita memutuskan kapan akan memakai jilbab, alias nggak pernah tau kapan bakalan siap. Dan ketika seorang Bibi terbelalak karena saya masih ingin sekolah lagi, "Hah? Mau sekolah lagi? Emang ga capek? Kenapa nggak nikah dulu aja?". Oh Bibi yang baik, sepertinya berumah tangga lebih capek daripada kuliah, ya kan?
Baiklah, membahas pertanyaan yang menjadi judul, saya ingin mencoba membeberkan isi otak saya yang belum ingin menikah dalam waktu dekat. Bagi saya, menikah itu ibadah, menyempurnakan separuh agama. Ibadah, sodara-sodara. Yang mana ibadah itu adalah mengabdi pada suami! Selain yang saya tahu menikah itu berarti ada sarana berbagi, bersandar, bercurhat, beribadah, bernapsu *eh!*. Juga ketika menikah berarti saya harus membuat keputusan besar, pisah dengan keluarga yang menjadi zona ternyaman di dunia, tidak boleh keluyuran sembarangan, ketika sudah punya anak berarti mempunyai amanah untuk mendidiknya menjadi manusia yang oke dunia-akhirat, dan terutama eh terutama harus nurut sama suami.
Nurut, sodara-sodara... Yang mana saya aja sering nggak nurut sama orang tua dan si pacar sering ngelus dada karena saya sering ngeyel *dijitak, TAK!*.
Kalau dianalogikan sebagai PNS, yang sekarang-sekarang ini orang-orang sedang gencar mendaftar dan banyak yang bertanya "Lo nggak ikut daftar jadi cpns, Pet?". Jawaban saya adalah tidak atau mungkin belum. Bayangkan, jadi PNS berarti mengabdi pada negara. Usia saya sekarang 23 tahun, dan PNS akan pensiun *anggap saja* pada usia 55 tahun. Berarti saya jadi PNS kurang lebih 32 tahun, menjalani rutinitas: pagi berangkat kerja-kerja di kantor 8 jam-pulang kantor sore-siapin makan buat keluarga-tidur-pagi terulang kembali. Bayangkan rutinitas itu selama 32 tahun, sodara-sodara! Oh GOD, rasa nasionalisme saya pada negara belum setinggi itu...
Dan menikah itu, SELAMANYA!
Okay, alasan utama mungkin karena saya belum rela memberikan diri saya seutuhnya *ceileeehhh* pada seseorang. Ada masalah sama pacar kamu, Rhein? Oh tidak, malah saya bersyukur dia juga belum mau menikah. Cuma ya itu tadi. Saya berpikir ketika saya menikah berarti saya harus belajar ikhlas. Ikhlas nurut sama suami, ikhlas belajar jadi istri yang sholehah, ikhlas meninggalkan zona nyaman, ikhlas segala macem. Dan belajar ikhlas itu lebih sulit daripada belajar Quantum Physics dan General Relativity. I bet you that, because I've already learn both.
Well yah, saya salut dengan orang-orang terutama sahabat-sahabat saya yang udah pada nikah, di usia relatif muda *saya masih muda loh*. Masa di mana saya masih sering keluyuran dan hedon kesana kemari. Dan mereka telah memilih untuk menikah, memberikan diri seutuhnya pada pasangan (istri ke suami, suami ke istri), dan belajar ikhlas. Sehingga membuat saya heran lalu bertanya "Kenapa pada Nikah Cepet, sih?"
Oh, mungkin someday saya harus bertanya lebih detail pada sahabat saya itu tentang "uuueeeennnaaakkk tenaaaan..." versinya itu. :p
Saya : Hey, gimana nih rasanya jadi pengantin baru? *kedip-kedip centil dan menggoda*
Teman : Rasanya nggak enak, Pet... *ia menunduk berwajah sendu. Dan sekilas info, nama panggilan saya adalah Thipet*
Saya : Hah? Nggak enak kenapa? *saya langsung khawatir dan bersiap jadi pelacur (pelayan curhat). At least, dia sahabat saya. Dan saya selalu ingin membantu meringankan masalahnya*
Teman : Iya, nggak enak. Tapi..... uuueeeennaaakkk tenaaaannnn.... *tergelak dengan puasnya*
Kampreeeetttt....
Atau lain waktu ketika saya chatting YM dengan tetangga yang usianya hanya terpaut setahun di atas saya dan dia sudah menikah.
Saya : Emang gimana rasanya nikah muda?
Mbak : Nyesel
Saya : Nyesel karena ga bisa main-main lagi layaknya anak muda?
Mbak : Nyesel kenapa ga dari dulu... *kalem*
Gedubraaaaakkk....
Saya bukan anti pernikahan. Saya juga ingin melanjutkan hidup layaknya keteraturan yang sudah tercipta, lulus kuliah-kerja-nabung-menikah-punya anak-menikmati masa tua-mati masuk surga. Saya juga tidak memiliki latar belakang buruk yang membuat saya trauma dalam berkeluarga, tidak. Keluarga saya sering disebut Keluarga Cemara saking harmonisnya *Alhamdulillah...*. Saya juga tidak punya masalah dalam menjalin hubungan dengan lelaki. Saya normal. Dan salah satu alasan saya putus dengan salah seorang mantan *ada berapa emangnya, Rhein?* adalah karena dia mengultimatum bahwa kami harus menikah segera setelah saya lulus kuliah! Oh GOD, that's NIGHTMARE!! Akhirnya, Alhamdulillah kami putus. He will get married next week *dengan wanita lain pastinya*. Congratz, and I'm really happy for you, Mas.. thumb up! :)
Saya hanya belum siap. Well, memang sih menikah itu sama seperti ketika wanita memutuskan kapan akan memakai jilbab, alias nggak pernah tau kapan bakalan siap. Dan ketika seorang Bibi terbelalak karena saya masih ingin sekolah lagi, "Hah? Mau sekolah lagi? Emang ga capek? Kenapa nggak nikah dulu aja?". Oh Bibi yang baik, sepertinya berumah tangga lebih capek daripada kuliah, ya kan?
Baiklah, membahas pertanyaan yang menjadi judul, saya ingin mencoba membeberkan isi otak saya yang belum ingin menikah dalam waktu dekat. Bagi saya, menikah itu ibadah, menyempurnakan separuh agama. Ibadah, sodara-sodara. Yang mana ibadah itu adalah mengabdi pada suami! Selain yang saya tahu menikah itu berarti ada sarana berbagi, bersandar, bercurhat, beribadah, bernapsu *eh!*. Juga ketika menikah berarti saya harus membuat keputusan besar, pisah dengan keluarga yang menjadi zona ternyaman di dunia, tidak boleh keluyuran sembarangan, ketika sudah punya anak berarti mempunyai amanah untuk mendidiknya menjadi manusia yang oke dunia-akhirat, dan terutama eh terutama harus nurut sama suami.
Nurut, sodara-sodara... Yang mana saya aja sering nggak nurut sama orang tua dan si pacar sering ngelus dada karena saya sering ngeyel *dijitak, TAK!*.
Kalau dianalogikan sebagai PNS, yang sekarang-sekarang ini orang-orang sedang gencar mendaftar dan banyak yang bertanya "Lo nggak ikut daftar jadi cpns, Pet?". Jawaban saya adalah tidak atau mungkin belum. Bayangkan, jadi PNS berarti mengabdi pada negara. Usia saya sekarang 23 tahun, dan PNS akan pensiun *anggap saja* pada usia 55 tahun. Berarti saya jadi PNS kurang lebih 32 tahun, menjalani rutinitas: pagi berangkat kerja-kerja di kantor 8 jam-pulang kantor sore-siapin makan buat keluarga-tidur-pagi terulang kembali. Bayangkan rutinitas itu selama 32 tahun, sodara-sodara! Oh GOD, rasa nasionalisme saya pada negara belum setinggi itu...
Dan menikah itu, SELAMANYA!
Okay, alasan utama mungkin karena saya belum rela memberikan diri saya seutuhnya *ceileeehhh* pada seseorang. Ada masalah sama pacar kamu, Rhein? Oh tidak, malah saya bersyukur dia juga belum mau menikah. Cuma ya itu tadi. Saya berpikir ketika saya menikah berarti saya harus belajar ikhlas. Ikhlas nurut sama suami, ikhlas belajar jadi istri yang sholehah, ikhlas meninggalkan zona nyaman, ikhlas segala macem. Dan belajar ikhlas itu lebih sulit daripada belajar Quantum Physics dan General Relativity. I bet you that, because I've already learn both.
Well yah, saya salut dengan orang-orang terutama sahabat-sahabat saya yang udah pada nikah, di usia relatif muda *saya masih muda loh*. Masa di mana saya masih sering keluyuran dan hedon kesana kemari. Dan mereka telah memilih untuk menikah, memberikan diri seutuhnya pada pasangan (istri ke suami, suami ke istri), dan belajar ikhlas. Sehingga membuat saya heran lalu bertanya "Kenapa pada Nikah Cepet, sih?"
Oh, mungkin someday saya harus bertanya lebih detail pada sahabat saya itu tentang "uuueeeennnaaakkk tenaaaan..." versinya itu. :p
Love is real, real is love. -John Lennon-
Comments
ato nunggu mas nunu ripes nglamar hahaha..
And one day after u married, cobalah menatap wajah suamimu saat ia tidur. Dan pikirkan, seseorang yg tidak ada hubungan darah dengan kita, tiba-tiba sekarang berjuang untuk kita. ^^
Maybe mom's story made u afraid. But trust me, there's much more fun in marriage than u can imagine right now ^-^
hmm pertanyaan yang sama muncul "apa yang buat seseorang yakin kalo pasangannya orang yg tepat buat dia sampe akir hayat sih?"
pertanyaannya bisa kejawab dengan benar, tepat, akurat kalo kamu udah menjalankan itu sepertinya :)
Hmm Kenapa Nikah Cepat..
Postingan yg Bagus. o iya kenalin saya Aster, suka baca blog nya Rhein awalnya dulu karena suka baca bukunya rhein yang 6 bln jadian / jadian 6 bln itu loh.. heee sampai bukunya turun temurun sekarang.. bagus bgt ceritanya.
ke topik awal, klo jawab pertanyaan knp nikah cpt kadang bingung harus jawab apa.. ya aster rasa itu merupakan salah satu alur kehidupan mau cepat atau lambat pasti terjadi juga. but saya setuju dg rhein, g´ush dulu cpt2 menikah.. krn klo udh menikah byk hal2 baru yang belum kita alami akan terjadi dan itu membutuhkan extra kesabaran klo enggak, byk pengalaman org2 yg br menikah beberapa bulan udh pada Ce**i aja.. masih sama2 mempertahankan Ego. tp jgn kelamaan juga ya Rhein sepertinya harus tetap ada target dan rencana. Ok.
dan terakhir nich, jwban kenapa cepat nikah.. karena semua sudah ada yang ngatur tuhh yang di ATAS. berarti Jodohnya udah sampai.
@langkahfie: setuju, fie.. kita ingin menikah dengan penuh rasa syukur saling menerima dengan pasangan kan.. :)
@Tukang Gosip:
owowowowwwwww... aku mau dilamar mas nunu ripsssss.... mmuach..
@Alvina: hahaha... klo gitu kita bikin geng bingung aja deh yuk ah.. =))
@ghost:
apa jaminannya? Ah, bodoh sekali pertanyaan saya.. pernikahan bukan simpan pinjam yang butuh jaminan.. :D
@achie: hahaha... ujungnya masih ada "sepertinya" chie.. :D :D. Ayok masuk geng bingung lah...
@Khaster: Wa'alaikum salam, Aster.. makasih udah baca novel saya. Betul.. seperti manusia akan tua, itu alur yang pasti.. Dan ya, saya masih punya ego besar sehingga belum siap.. :p
seandainya keluarga kita "habis" siapa yg akan meneruskan garis keturunan, kalo bukan kita?
sama banget mbak.
kalo aku bayangin nikah malah serem mbak.
gak tau kenapa. hahahaa
-hans
Lah kok serem.. emangnya nikah siri sama hantu... *korban sinetron*
Melainkan membenarkan salah satu dari keduanya, dan kemudian menginterogasi / menghakimi teman atau anggota keluarga yang tidak sesuai dengan salah-satu pilihan tsb. Itu yang salah.
Bagiku sih, selama orang menerima dan bertanggung jawab apa yang dia lakukan, tidak ada masalah.
Setuju mas! Tapi emang siapa yang bilang salah atau benar ya?? Sepertinya tidak ada hal seperti itu di tulisan saya.. :)
Oh.. iya.. iya.. saya mengerti.. Hahaha.. menurut saya sih, dalam seperti ini bukan masalah benar salah. Di setiap pilihan tidak ada yang salah, yang ada hanya resiko :p