Bekal, Feminisme, dan Gengsi

Anak twitter pasti tau beberapa waktu lalu sempat ada 'keributan' akibat seseorang membuat thread dengan judul "bekal untuk suami". Saat twit tersebut muncul, langsung saya bookmark tanpa pikir panjang karena ide menu buat bekal atau makanan sehari-hari itu penting. Buat diri sendiri tentunya karena saya belum punya suami. Selang beberapa jam buka twitter lagi, lah kok jadi muncul keributan. Ada yang pro dengan alasan mirip-mirip saya dan ada yang kontra dengan alasan kesetaraan gender (yang menurut saya, maksa banget). 

Pihak kontra, yang selanjutnya mengusung alasan feminisme, berpendapat bahwa tidak seharusnya seorang istri membuat bekal untuk suami. Harus ada kesetaraan pekerjaan, harusnya bikin bekal itu dibayar, cooking considered as work, yang membuat saya cengo. Dan ketawa. 

Saya bukan penggemar isu feminisme apalagi mendalami topik gender equality. Karena bagi saya dalam sebuah hubungan ya common sense aja, dude. Kalau seseorang punya satu potensi, misalnya ibu saya jago ngatur duit, kemudian bapak saya jago desain interior. Ya Ibu ngatur semua budgeting dan pengeluaran keluarga. Lalu kalau urusan beli atau dekor rumah, Bapak yang akan handle dan membuat rumah senyaman mungkin. Masing-masing tentu boleh memberi saran, tapi tetap ada satu orang yang bertanggung jawab. Ibu jaraaang banget masak. Plus saya juga ga terlalu suka kalau Ibu masak karena suka jadi cerewet dan nyuruh ini itu, hahaha. Tapi toh Bapak juga ngga menuntut hal tersebut. Minta tolong aja ke bibi. So, in relationship context, I prefer to use common sense. 

Urusan umum seperti tanggung jawab pekerjaan rumah, pendidikan, mandiri, support yourself, saya dan adik-adik (cewe cowo) juga punya hak dan kewajiban setara. Dan seperti Bapak Ibu, masing-masing dari kami punya potensi yang bisa saling melengkapi. For me, it's not about gender equality, but human equity. Relationship need fairness, not sameness. Memangnya kalau nanti kita tua, sakit-sakitan, bau tanah, lalu pasangan atau keluarga akan merawat, nyuapin, nyebokin, lalu kita harus berfikir those things considered as work and should be paid. Iya kalau kita tajir melintir. Kalau jadi jelata miskin gimana?

Beberapa orang pernah menyangka saya pendukung feminisme (yang mana saya ga paham dan ga mencari tau juga) hanya karena saya sekolah, bekerja, mandiri, belum nikah, berani speak up, dan membuat keputusan hidup tanpa direcoki oleh Bapak (yang dalam konsep patriarki dianggap sebagai penanggung jawab dan pengendali hidup anak perempuan). Saya paham, nggak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia, masih banyak ketidakadilan untuk perempuan. Namun bukan berarti sebagai perempuan harus membenci laki-laki atau relationship.

Tentu, sebagai perempuan kita wajib mandiri, pintar, tangguh, punya kendali atas hidup. Kemudian kalau kita berkoar "Cari lelaki yang nggak gengsi ketika wanitanya lebih sukses", bukankah akan sangat manis ketika kita pun bisa jadi perempuan sukses yang nggak gengsi untuk bersikap supportif dan peduli pada pria yang kita sayang? Bahkan, kisah cinta paling romantis menjadi pembuka menyebarnya Islam. Ketika Khadijah ra memeluk Rasulullah Saw yang gemetaran setelah bertemu Jibril, kemudian menjadi pemeluk Islam pertama dan mendukung  perjuangan Rasulullah Saw. Kurang sukses apa coba Khadiah ra ini? 

Beberapa problem yang menimpa perempuan, memang perlu diperjuangkan. Namun kalau urusan bekal, apalagi yang dibuat dengan senang hati, sepertinya terlalu sepele untuk dipandang sebagai alasan perjuangan feminisnme. 

ceritanya saya bikin bekal

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

A Day at The Same Time Zone

The Only One Lady's Birthday