Pensiunan

"Teh, ada cerita sedih. Kemarin ibu ke kondangan anaknya teman Bapak. Terus ketemu temen-teman Bapak yang lain. Ada 1 orang, teman di kantor dulu, lulusan S3, udah pensiun, dan sekarang ga punya rumah sama sekali sampai harus tinggal di masjid. Udah ditinggalin istri dan anaknya. Kata Bapak ada 11 orang teman Bapak yang ditinggal istrinya karena kesulitan materi."

Camilan sore yang terhidang di meja seketika tidak lagi menggugah selera. Saya hanya termangu.

Sebagai anak perempuan yang belum menikah, hari-hari saya selain bekerja dan menjalankan hobi, tentu menemani orang tua yang sudah berusia pensiunan. Menghabiskan waktu dengan Ibu di salon atau menemani Bapak melihat pameran lukisan dan wisata kuliner (pokoknya kalau sama Bapak, jajan teruuusss). 

Sejak Bapak pensiun beberapa tahun lalu, keluarga kami sudah melalui beragam problematika (post-power syndrome, finansial, bersitegang, Ibu pulang ke rumah Nenek, etc). Seorang ayah/suami yang awalnya menjadi tulang punggung dan tumpuan keluarga, ada saatnya untuk kembali ke rumah. Sebuah perubahan yang ternyata memiliki pengaruh besar. Saya pikir semua keluarga akan mengalami fase tersebut. Bagaimana tiap keluarga menghadapi fase tersebut, itu lain cerita. 

"Kok tega ya, para istri itu? Cewek matre semua," lanjut cerita Ibu.

Istilah; ada uang abang disayang, ngga punya uang abang ditendang, yang saya pikir hanya lelucon, ternyata berdasarkan sebuah realita. 

Saya melihat sendiri bagaimana tidak mudah bagi Bapak untuk menjadi seorang pensiunan. Beliau kehilangan 'tahta' di kantor, sumber 'harta' hanya uang pensiun yang tak seberapa, jarang bertemu teman sejawat untuk berbagi cerita, berkurangnya aktivitas yang menstimulus potensi diri, juga rasa rendah diri. Percayalah, ada yang lebih rapuh daripada hati perempuan, yaitu ego lelaki. 

Belajar dari Bapak, ada beberapa hal yang bisa saya simpulkan sebagai bekal kehidupan.

1. Teman dan aktivitas positif itu perlu.
Dalam hal ini teman yang bisa bertatap muka secara langsung. Sejak Ramadhan lalu, Bapak menyediakan meja pingpong di halaman rumah yang menjadi ajang olahraga bapak-bapak komplek perumahan. Hampir tiap pagi dan sore mereka datang untuk tepak-tepok. Banyak dari mereka pensiunan. Ada yang udah kena stroke, parkinson, alzheimer, jangan ditanya perkara kolesterol tinggi atau diabetes. Mereka tidak lagi muda, tidak lagi penuh dengan stamina. Dan pertemanan yang difasilitasi kegiatan positif seperti olahraga ternyata menjadi hal sederhana yang bisa mempertahankan gairah hidup mereka. (Bapak-bapak ini membuat perjanjian tidak ada perbincangan politik). 

2. Memiliki dan mengasah skill yang semakin tajam seiring waktu.
Saat tinggal di Australia, saya sering ketemu dengan pria tua yang mempunyai bengkel, restoran, atau tempat reparasi jam. Selain menjadi pemilik, tentu mereka terjun langsung di pekerjaan tersebut. Saya pikir, setiap orang perlu memilih skill tertentu yang bisa dimanfaatkan kapan pun kita mau. Bekerja kantoran memiliki masa waktu, persaingan dengan tenaga muda, serta batas waktu pensiun. Bagaimana kita bisa survive hidup setelah pensiun dari kantor? Itu PR yang perlu dipikirkan selagi kita muda. Perbengkelan, masak, dan elektronik adalah beberapa contoh skill yang semakin tajam bila diasah dan masih memungkinkan untuk dilakukan saat usia pensiun. Oiya, di Australia, pekerjaan dengan skill khusus seperti ini dibayar lebih mahal daripada pekerjaan kantoran (beda dengan di Indonesia).

3. Perempuan perlu punya penghasilan sendiri.
Saya percaya spesies cewek matre itu ada. Sama seperti saya percaya  adanya spesies cowok yang melarang istrinya memiliki penghasilan sendiri bahkan mematikan potensinya karena ingin merasa superior. Perempuan dan laki-laki sama-sama manusia, memiliki potensi dan fase hidup yang seperti roda. Bagi saya, perempuan perlu memiliki penghasilan halal sendiri. Saat lajang, perempuan bisa mensupport diri sendiri. Saat berkeluarga, ia juga bisa menjadi partner suami dalam kondisi apa pun bahkan urusan finansial. Marriage is about give and give. Suami dan istri harus bisa saling memberi. Dan (lagi-lagi) mumpung masih muda apalagi lajang, belajarlah agar tidak menjadi dua spesies manusia yang saya sebut sebelumnya.

4. Anak-anak adalah aset, sayangi dan didik agar mereka berbakti.
Saya nggak bilang kalau saya ini anak yang super berbakti sama orang tua ya. Sering kok saya ngeyel dan nggak nurut. Namun bagi kami (saya dan adik-adik), parents come first. Kesehatan dan kebahagiaan orang tua adalah yang utama. Saya akan dengan tegas melarang Bapak pergi-pergi jauh nyetir sendiri karena nggak mau beliau kecapekan. Adik saya akan akan mensupport Bapak Ibu agar mereka sering traveling dan hepi-hepi. Tiap kami pergi, tidak pernah lupa telepon ortu untuk tanya, "Mau dibawain apa?"
Kembali ke status pensiunan, kami (anggota keluarga) selalu saling mengingatkan, "Bapak itu udah kerja lebih dari 30 tahun. Setia sama satu perusahaan. Pulang pergi kantor macet demi  gaji bulanan. Bayar kebutuhan rumah, pendidikan, cari pinjaman kalau ada yang sakit, mengalami fase jatuh bangun lelah dll. Puluhan tahun cukup menjadi bukti tanggung jawab Bapak sebagai kepala keluarga. Sekarang Bapak pensiun, beliau berhak untuk menjalani hari-hari bahagia. Yang penting Bapak sehat dan senang."


ps: tulisan kali ini berlaku untuk pensiunan baik perempuan atau laki-laki. Jika terasa hanya memfokuskan laki-laki, karena dalam kasus saya, hanya Bapak yang bekerja karena ibu saya seorang ibu rumah tangga. 

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

A Day at The Same Time Zone

The Only One Lady's Birthday