2017 Wrapped - Remember Me

Tanggal 1 Januari 2017 pukul 05.30 a.m waktu bagian Western Australia, kaki saya melangkah setengah berlari menuju restoran di kawasan wisata kota Fremantle. Kala itu musim panas, liburan sekolah, masih suasana Natal dan tahun baru, serta menyambut Australian Day. Otomatis restoran tempat saya bekerja tidak pernah sepi pengunjung. Sibuknya bulan januari sampai membuat kaki saya kram tiap bangun pagi. 

Badai pasti berlalu
Saya mengawali tahun ini dengan anxiety dan depresi. 

Hidup berpindah di 4 kota (Fremantle, Sydney, Melbourne, dan pulang ke Bogor), berkunjung ke entah berapa lokasi wisata, singgah di entah berapa hostel. Tampak menyenangkan karena jalan-jalan terus? Di balik itu semua, kondisi saya tidak seindah apa-apa yang saya posting di instagram. :)

Awal tahun bukan waktu yang menyenangkan bagi saya. Ada emosi tak terkendali, ada derai air mata, ada jam kerja panjang untuk pengalih stress, ada dentam musik di club tiap akhir minggu, ada bercangkir-cangkir kopi yang saya harap bisa meredakan cemas, ada botol-botol alkohol yang membantu agar saya bisa tertidur lelap, ada aplikasi berbayar yang harus saya beli demi membantu pikiran rileks, ada senyum dan tawa lebar yang tak pernah lepas untuk menutupi semuanya. Satu hal yang paling saya syukuri, masih ada para sahabat yang mau mendengar dan menerima saat saya sekacau itu. 

Problem apa yang saya alami hingga mengalami fase hidup seperti itu tidak terlalu menarik dibahas. Yang saya suka adalah saya banyak belajar selama setahun ini. 

Pertama, saya belajar bahwa bahagia harus dipaksakan. Ketahuilah, hidup tanpa mimpi dan obsesi itu ternyata menyeramkan sekali. Dalam keadaan "My brain can't work well, so I don't know what to do in my life anymore.", saya merasa seperti merangkak untuk melanjutkan hidup. Saya yang penulis dan sejak dulu menjadikan menulis sebagai terapi untuk apa pun, ternyata tidak mempan lagi. Saya berkonsultasi dengan teman psikolog. Otak saya memerintahkan; jangan manja dan me-menye-menye diri sendiri, harus bahagia! Pilihannya: bahagia atau mati rasa.

Ketika quote-quote inspiratif tidak lagi bisa menghibur dan puluhan sujud tidak lagi menenangkan pikiran, saatnya science beraksi. Olahraga! Saya jogging minimal 30 menit tiap pagi. Endorfin, dopamin, serotonin, you named it. Perlahan, saya merasa hidup mulai nggak suram-suram amat. Otak kembali bekerja dan menyadari bahwa saya tipikal manusia pembelajar yang selalu perlu dirangsang rasa ingin tahunya akan hal baru. Saya belajar main musik.  

Kedua, saya belajar bahwa saya tidak memiliki apa pun di dunia ini. Not even my breath. Maka ketika tahun ini saya mengalami perpisahan berulang kali yang tak lepas dari linangan air mata (iya, saya melankolis sekali), ketika saya ingin memeluk erat apa yang pernah saya miliki tapi harus saya lepaskan, ketika saya ingin ini itu dan tak peduli sekuat apa pun saya berusaha ternyata tidak bisa saya dapatkan. Saya harus bagaimana? Saya pernah meminta, "Tuhan, tolong udahan." namun akhirnya berganti doa, "Tuhan beri saya kesabaran." 

Mengurangi "perasaan memiliki" ternyata bagus juga untuk psikis saya. Termasuk mengurangi ekspektasi yang ternyata salah satu racun dunia. Apalagi berekspektasi orang lain akan begini dan begitu pada kita atau perjalanan hidup akan seindah story selebgram. Berulang kali saya mencoba untuk menenangkan diri, menarik napas panjang, menutup mata, mengikhlaskan apa yang memang akan pergi atau lepas dari hidup saya. Sampai ketika membuka mata, saya bisa melihat lebih jelas apa-apa atau siapa saja yang memang ada untuk saya. Atau saya untuk mereka. I learn to appreciate them wisely.

Ketiga, saya belajar menertawakan diri sendiri. Tahun ini bertepatan dengan ulang tahun saya yang ketiga puluh. Saya masih suka mencoba hal baru. Bedanya, kalau dulu saya lebih suka coba-coba sendiri dan baru berekspresi ketika saya sudah bisa, kali ini saya tidak terlalu peduli terlihat bodoh atau tidak mampu. Ayolah, saya sudah cukup tua untuk memikirkan gengsi. Saya belajar masak, eh ternyata hancur total sampai-sampai masakan saya malah dibuang sama chef. Saya belajar musik dan nyanyi meski suara sumbang serta ngga peduli untuk upload di sosmed atau tampil di depan umum. Saya belajar gambar ada yang komentar kalau gambar anak SD lebih bagus. Saya belajar motret meski masih sering dipoles efek dari aplikasi. Saya belajar mencintai meski pada akhirnya tidak dihargai sama sekali.

Yang menyenangkan, saya masih punya sahabat yang bisa saya ceritakan semua hal bodoh tersebut dan kami menertawakan itu semua. 

Keempat, saya belajar untuk melihat lebih jelas siapa orang-orang di sekeliling. Ada teman-teman yang bergegas datang hanya karena saya berkata, "I need someone to talk to.". Ada yang rela hati mendengar semua ocehan saya meski ia sedang dirundung masalah. Ada yang dengan tulus bertanya "How're you feeling today?" atau berkata, "You can tell me everything.". Kemudian di sisi lain, saya pun bisa melihat lebih jelas siapa-siapa yang 'take me for granted', siapa yang menganggap saya hanya seonggok sampah, siapa yang hanya memanfaatkan kebaikan saya, siapa yang tidak menginginkan saya dalam hidupnya. Saya belajar bagaimana bersikap menghadapi semuanya. 

Kelima, saya belajar mengatakan "tidak apa-apa" pada diri sendiri. I don't want to push myself too hard. Tidak apa-apa kalau saya ingin menangis sekencang dan selama mungkin. Tidak apa-apa kalau saya ingin murung dan kesal seharian. Tidak apa-apa mengaku saya tidak baik-baik saja. Tidak apa-apa bertingkah bodoh selama tidak merugikan orang lain. Tidak apa-apa merasa gagal dan hidup terpuruk meski orang lain mencibir "kamu baik-baik saja, masih ada orang lain yang nasibnya lebih buruk dari kamu". Tidak apa-apa mengasihani diri sendiri. Tidak apa-apa menarik diri dari dunia dan sembunyi. Tidak apa-apa mengakui saya depresi. Tidak apa-apa saya tertatih bergerak perlahan. It's okay for being so drama. Tiap orang akan mengalami fase hidup seperti itu dan bagi saya tidak perlu malu untuk mengakuinya. It's normal phase of life. 
Oh, hello good people! :)
The last, I learn the art of smile bright even when life was so hard, my heart break apart, and my brain stuck. Karena selama saya bisa bertahan hidup, pada akhirnya semua akan baik-baik saja. 

Saya tidak terlalu produktif menghasilkan suatu hal atau karya mencengangkan di tahun 2017 ini. But, I'm still happy and proud of myself have passed through this year quite well. 

Saya mengakhiri tahun ini dengan bersyukur dan bahagia. :)

Oiya, ini ada bonus saya nyanyi Remember Me dan sudah upload di youtube. Tolong di-like dan ditonton berulang-ulang supaya dapet banyak view ya. Hahaha...



Selamat Tahun Baru.

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Rd said…
reviewmu kok ya bagus gini, saya jadi tertarik bikin juga semacam ini, tapi tentu tak sebagus ini...

yang jelas, videoklipmu itu, matamu itu lhoh teh hihi

daan smoga tahun 2018 tar hidupmu semakin cerah & bersinar ya. amiin
Rhein Fathia said…
@Rd:
Makasih, Om.. Aamiin doanya. Ayo dong bikin review setahun ke belakang juga. Lumayan buat kontemplasi dan berencana ke depan. :D
Rd said…
Sudah ada bikin kok satu

tapi agak beda versi sama bikinanmu http://auk.web.id/2017/12/27/kilas-2017/
Acipa said…
Kak Rhein, apa yang kamu pelajari 2017 rasanya bakal jadi sesuatu yang bakal aku sambut di tahun depan. Salah satunya perihal ekspektasi. Jujur, aku ngerasa hal ini jadi momok tersendiri. Ekspektasi tinggi tentunya bakal jadi sesuatu yang menantang biar beneran dapat hasil yang terbaik, tapi kadang hidup nyatanya nggak semudah itu ya, belajar lapang dada bahwa realita kadang hanya cukup mencapai titik "segitu adanya".

Yah, semoga ikhlas dan syukur jadi pembelajaran sepanjang hidup :)
Rhein Fathia said…
@Syifaa:
Yang semangat dan sabar ya. Berharap sama Tuhan boleh, tapi berekspektasi sama manusia lebih baik jangan. Tenang aja, dalam hidup toh kita selalu belajar :)

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

Tips Belajar IELTS (yang ngga berhasil-berhasil amat)

Review Macbook Air 11 Inch