Perempuan, Hijab, dan Perjalanan

Sebagai anak yang lahir dari keluarga yang memberi kebebasan penuh akan hidupnya, saya seringkali  tidak terlalu ngeh kalau tiga poin yang menjadi judul adalah kombinasi yang spesial. Apalagi untuk sudut pandang di negeri tercinta Indonesia. Kalau diingat-ingat lagi, ternyata tidak sedikit teman-teman perempuan yang curhat kalau mereka kesulitan mendapat izin orang tua untuk bepergian. Bukan hanya dalam urusan traveling jarak jauh, bahkan sejak saya masih di bangku sekolah pun. “Ayahku nggak ngasih izin.” Kalimat klasik kalau saya ngajak teman perempuan jalan-jalan.

Ketinggalan rombongan biksu Tong
Satu hal yang wajar ketika seorang ayah menjaga putrinya. Harus malah. Lah, kalau saya dibolehin pergi-pergi sesuka hati, apa Bapa nggak menjaga atau khawatir? Ada satu waktu ketika Bapa juga sering melarang saya main ke luar rumah. Seiring berjalannya waktu, boleh main tapi tidak terlalu jauh dan serentet pertanyaan sponsor (ke mana, sama siapa, mau berbuat apa). Makin saya gede, main makin jauh dan biasanya nggak dapat izin. Akhirnya saya menggunakan trik, pergi aja dulu kalau udah sampe lokasi baru telepon minta izin. Terus kalau ternyata sama beliau nggak boleh, tinggal bilang deh.. “Yah, Pa.. Tapi Teteh udah sampe lokasi.” *anaknya licik*

Saya tahu Bapa pasti punya kekhawatiran tiap saya pergi-pergi. Kalau Ibu gimana? Beliau sih selama Bapa oke, ya ikutan oke. Hal yang saya lakukan adalah selalu cerita semua aktivitas yang saya lakukan. Contohnya waktu zaman SMA dan kuliah saya sering pergi-pergi untuk pengamatan Astronomi, ke luar kota, nyebrang pulau, dsb. Sesampainya di rumah, saya selalu cerita jalan-jalan ke mana saja, sama siapa, dan berbuat apa. Kebanyakan teman pastinya laki-laki, saya pun sering cerita tentang mereka ke keluarga. Dari situ saya merajut kepercayaan beliau, bahwa saya pergi untuk aktivitas positif dan belajar, saya bisa mencari teman yang baik dan supportif, saya akan baik-baik saja. Selepas kuliah, saya tidak pernah lagi meminta izin untuk pergi, cukup dengan memberi informasi. “Teteh mau pergi ke sini.”


ala-ala Elsa
Selama saya backpacking, ketemu perempuan berhijab itu jarang. Ketemu perempuan berhijab yang backpacking sendirian apalagi. Seinget saya nggak pernah malah. Kalau ketemu perempuan berhijab kebanyakan dari negara Timur Tengah atau Malaysia dan mereka pasti bareng keluarga atau teman-teman serombongannya. Saya nggak tahu apa itu karena katanya ada perintah agama yang menyatakan bahwa perempuan tidak diperkenankan bepergian sendirian dan bukan dengan muhrimnya atau gimana. Saya nggak akan bahas tentang itu karena nggak cukup ilmu.

Serba-serbi backpacker dengan hijab bedanya hanya di pakaian kalau dari yang selama ini saya alami. Bawa tas pastinya lebih berat karena pakaian panjang dan hijab, beda dengan teman non-hijab yang tinggal bawa tanktop dan hotpants. Selain itu, sama aja. Sama-sama harus bayar tiket kalau mau naik pesawat.

Hal utama yang paling saya suka dari perjalanan adalah sensasi keterasingan. Perempuan backpacking sendirian itu termasuk asing, apalagi yang berhijab. Namun dari sana saya belajar untuk memulai berinteraksi. Dari tukang makanan di pinggir jalan, penduduk lokal (ini biasanya kalau nanya jalan), barista kalau pagi-pagi butuh kopi (cari yang ganteng), sampai ngobrol sama polisi (ini biasanya kalau saya udah nyasar). Saya suka bertemu hal dan orang baru. Saya suka berinteraksi dan bernegosiasi. Saya suka mengobservasi.

backpacker udah kecapean bahkan untuk dandan
Apa kalau perempuan jalan-jalan sendirian itu bahaya? Pertanyaan yang sering jadi kekhawatiran. Selama ini alhamdulillahnya nggak pernah ketemu orang-orang membahayakan. Ada sih kadang yang nodong minta rokok atau duit, atau kalau ketemu orang-orang sok baik padahal scam penipuan, atau pas butuh transport dan diketok harga mahal banget, atau pas di bis eh ada orang-orang mabuk dan jotos-jotosan, atau saat melintas beberapa negara lewat jalur darat dan ternyata harus lewat hutan gelap malam-malam. Well, toh perjalanan nggak selalu mulus kayak kaki anggota SNSD. Bagi saya perjalanan tidak selalu tentang foto-foto bagus, tapi lebih ke bagaimana kita bisa menyerap segala hal baru, kemudian kadang panik penuh drama, lalu meresponnya dengan bijaksana. Sama seperti mata uang dan hal lain di semesta, selalu ada dua sisi: resiko dan keuntungan.

Perjalanan memaksa saya mengasah skill pribadi karena mau nggak mau harus dilakukan. Contoh: skill komunikasi, baca peta (penting), negosiasi, mengambil keputusan di saat terdesak, meredam panik, ngatur duit, dan membuat rencana. Serta belajar tertawa di situasi paling bodoh dan sengsara. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola semua hal itu sendiri. Skill yang tampak remeh ini bagi saya memiliki efek bagus untuk kehidupan di kemudian hari. Kita makhluk sosial, kita perlu banyak teman, dan kita tetap harus bisa mandiri. Zaman sudah berubah, perempuan perlu kualitas pribadi seperti itu.

Lalu bagaimana dengan pengalaman perjalanan sebagai perempuan berhijab? Selama ini seru-seru aja, sih. Bapa selalu mengatakan bahwa hijab adalah pembeda perempuan muslim dari yang lainnya. Bagi saya, hijab juga sebagai penjaga (seriously!). Sesekali ada orang penasaran, ngajak kenalan, dan tanya-tanya tentang Islam atau hijab. Saya juga mendapat banyak perspektif baru tentang Islam di mata non-muslim dunia. Ada yang mengira bahwa Islam terbagi 2: Islam jahat (yang suka perang) dan Islam baik (yang penduduk sipil dengan aktivitas manusiawi sehari-hari). Teman saya pernah dapat komentar, “Oh kamu muslim? Kamu teroris juga?” #makslep. Teman kerja part-time saya, malah menyangka saya Budha. 

Media mungkin overrated dalam memberitakan Islam. Orang-orang yang saya temui nggak terlalu peduli tentang hijab yang saya kenakan. Kebanyakan malah nggak terlalu tahu tentang Islam dan Muslim. Saya punya banyak teman yang memeluk beragam agama, nggak punya agama, sampai nggak percaya Tuhan. Selama saya bersikap ramah dan baik, mereka akan berbuat hal sama. Simpel. Justru dengan hijab saya ingin lebih membuktikan bahwa Islam memiliki aturan habluminanas yang indah dan perempuan muslim tidak seperti anggapan media selama ini (tradisional, dikurung di rumah, akses melihat dunia terbatas). Perempuan muslim juga pintar, mandiri, dan survivor. 


Pentingkah perempuan jalan-jalan? Penting, dong! Terlepas dia pakai hijab atau tidak, sendirian atau rame-rame. Syahdan saat bekerja sebagai au pair menjaga bayi usia 7 minggu, setiap kali melihat bayik, saya tersadarkan bahwa suatu hari saya akan menjadi seorang ibu. Dan saya ingin menjadi sosok ibu yang penuh akan pengalaman hidup. Di masa depan zaman akan lebih complicated. Mungkin saya akan kesulitan mengikuti era anak-anak saya nanti, tapi at least saya ingin tahu seberapa luas dunia agar bisa selalu mendampingi mereka.

bayik, aku rindu!

ps: mikirnya kejauhan, sis! Cari suami dulu sana!

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

Rd said…
Saya suka endingnya #eh
.magnolia. said…
Tiaaaa..nova juga pengen travelling jadinya..��
Nelly Vergawati said…
aaah sukaaaa.. keren kak.. banget.. teringin pula travelling!
Atiqoh Hasan said…
aaaah, aku juga pengen traveling yang nggak rempong jadinya:)))

Popular posts from this blog

2022: Slightly Romantic Comedy

Tips Belajar IELTS (yang ngga berhasil-berhasil amat)

Review Macbook Air 11 Inch