Tentang Menjadi Istri, Ibu, Ini, dan Itu

Teman-teman Rhein udah banyak yang jadi Ibu. Mahmud Abas istilahnya, Mamah muda anak baru satu. Melongok diri sendiri, Rhein sering merasa siklus hidup sedang berhenti di usia 20 tahun. Menikmati masa kuliah, senang-senang, tugas-tugas, kongkow dengan teman, backpacking murah, nonton film di laptop, download-download, begadang, bangun siang, minus pacaran. Obrolan keluarga tentu sering nyentil ke urusan kapan cari pacar, nikah, dsb. Dulu-dulu sih risih, sekarang udah sampai tahap ahyasyudahlah.

Rhein termasuk anak yang lebih suka fokus untuk hal-hal yang disukai dulu. Nikmati hidup, hepi, udah ada yang ngatur urusan jodoh, rezeki, dan mati. Sampai seorang teman sering curhat dia pengen nikah tapi belum kesampaian padahal udah punya pacar. Awalnya sering nanya ke diri sendiri, kenapa dia pengen nikah cepet? (dan gw udah tau jawabannya). Lalu ganti bertanya, kenapa gw juga belum punya pacar dan nikah seperti temen-temen seumuran? Kenapa ya?

Mikir-mikir-mikir, pertanyaan Rhein ganti. Apa yang bikin gw belum pantas untuk nikah?

Kemudian gw akan teringat seorang klien waktu masih jadi editor dulu. Namanya Ibu Sufi, beliau penulis buku kuliner yang bukunya udah dimana-mana, seorang wanita usia 60an yang masih sehat dan aktif di urusan kuliner. Waktu sering kerjasama dengan beliau di rumahnya, pemotretan menu, penulisan resep, liat cara memasak, mau nggak mau pasti berinteraksi juga dengan keluarga Ibu Sufi. Suaminya, asistennya, saudaranya, anaknya, sampai cucu-cucunya. Seringkali saat proses pembuatan masakan atau pemotretan menu, kami diinterupsi karena Ibu Sufi harus menyiapkan makan untuk suaminya, menjemput cucu-cucunya sekolah, mempersiapkan hal-hal kecil kalau suaminya akan pergi, telepon sana-sini kalau anak atau saudaranya butuh sesuatu. Sampai suatu hari, Ibu Sufi pernah bilang sama Rhein,
"Tuh, kamu nanti kalau sudah jadi istri dan ibu, harus bisa mengerjakan banyak hal printilan kayak gini dalam satu waktu. Sanggup, nggak?"
Dan gw cuma nyengir. 
Waktu kerja ngacak-ngacak rumah Bu Sufi
Kemudian Rhein akan melongok ke keluarga sendiri, melihat Ibu, sosok ibu rumah tangga merangkap businesswoman. Ibu masih selalu bangun pagi, menggedor pintu kamar anak-anaknya untuk membangunkan solat subuh, menyiapkan kopi dan cemilan untuk Bapak, serta memberikan intruksi menu ke asisten untuk masak seharian. Oh, bukan hanya menu masakan untuk keluarga, tapi juga belasan karyawan kantor Tenda Destarata. Kemudian Ibu akan mengecek & mengatur jadwal jobdesk masing-masing karyawan, ketemu klien, belum lagi kalau Rhein merengek minta cemilan (duh)

Setelah melihat dua wanita di atas, sampailah pada kesimpulan: Oke, gw emang belum pantas sih jadi istri dan ibu. Sekarang masih saatnya belajar sedikit demi sedikit untuk mandiri dan sebisa mungkin bermanfaat untuk orang lain. 

Mungkin bukan hanya untuk masalah pencapaian status. Termasuk tentang menggapai mimpi dan keinginan, pertanyaannya bukan "Kenapa aku belum begini dan begitu?" tapi diganti "Apa yang membuatku belum pantas mendapatkan/menjadi ini dan itu?"

Love is real, real is love. -John Lennon-

Comments

tergelitik untuk komentar :) Semua pasti akan ada waktunya, dan ketika waktunya tepat Rhien pasti siap menjadi seorang istri & ibu.. Salam kenal

Popular posts from this blog

Kaleidoskop 2021

Backpacker Thailand Trip (part-5): Chatuchak Market, Belanja, & Kuliner